Hari Senin kembali tiba, itu artinya masa skors Adzwa sudah berakhir. Ia berdecak sebal jika mendengar hari Senin, jika harus memilih, Adzwa lebih suka hari Minggu. Hanya hari Minggu lah yang sering ia rindukan, untuk yang lainnya Adzwa tak pernah merindukannya. Setelah siap dengan seragam sekolah, sepatu sudah dipakai juga, rambut sudah rapi yang sengaja diurai. Kini Adzwa hanya tinggal memakai masker dan kacamatanya saja. Berhubung ia belum sarapan, jadi Adzwa memakai kacamatanya lebih dulu.
Ia pun turun ke bawah menghampiri Oma yang sudah berada di meja makan. “Pagi, Oma!” sapa Adzwa pada omanya yang tengah sarapan.
“Pagi,” sahut Oma.
Adzwa pun langsung melahap nasi goreng bikinan omanya yang selalu enak, dan selalu membuatnya ingin nambah lagi.
“Sekolahnya yang bener, ya, awas aja kalau kamu bikin masalah lagi. Apalagi, sampai kamu diskors lagi, dan bikin Oma dipanggil ke sekolah,” nasihat Oma pagi-pagi.
“Hm ....” balas Adzwa dengan deheman. Tak lama kemudian, ia bangkit dari duduknya, dan mengakhiri sarapannya. “Aku berangkat dulu, ya, assalamualaikum,” pamitnya sambil mencium punggung tangan omanya, lalu memakai masker andalannya.
Sebenarnya ia sengaja cepat-cepat berangkat. Alasannya juga simpel, karena ia tak mau mendengar ocehan omanya. Itulah Adzwa, tak mau mendengar nasehat orang lain. Namun, jangan salah, meski begitu Adzwa sangat menyayangi omanya.
Kebiasaan Adzwa jika pergi ke sekolah tak penah naik motor, dan tak pernah naik mobil, ataupun naik kendaraan umum. Tetapi, ia berangkat sekolah dengan jalan kaki saja, kenapa? Karena pikirnya ia tak manja yang sedikit-sedikit merengek karena kepanasan, sedikit-sedikit merengek kalau pegal karena jalan kaki. Adzwa paling tak suka dengan orang-orang yang manja, lagi pula ia lebih senang untuk jalan kaki, karena itu lebih sehat katanya.
***
Dalam waktu 25 menit, Adzwa pun sampai di sekolahnya. Tepatnya pada pukul 6.45, ada waktu 15 menit lagi sebelum bel masuk. Tetapi, sepertinya Adzwa sedang bad mood hari ini. Jadi, setibanya di sekolah, ia langsung berjalan menuju kelasnya.
Setibanya di ambang pintu kelasnya, ia memperhatikan isi kelasnya. Semua orang-orang yang ada di kelas, menatap Adzwa secara bersamaan. Ada yang menatapnya takut, benci, panik, dan bermacam-macam tatapan lainnya.
Adzwa terus memerhatikan seisi kelasnya itu, satu-persatu. Dan, skak mat! Adzwa melihat ada seseorang yang berani-beraninya duduk di bangku kesayangannya itu, dengan langkah cepatnya Adzwa berjalan menuju bangku yang telah di duduki seorang perempuan yang kini tengah menunduk karena sedang membaca.
Brak!
Dengan sengaja, Adzwa menendang kaki mejannya, membuat seseorang yang tengah membaca itu tersentak kaget. Begitu juga dengan murid-murid lain yang melihatnya. “Eh, siapa suruh lo duduk di bangku gue?!” gertak Adzwa dengan nada tingginya.
Cewek itu mendongkakkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang baru saja menendang kaki meja. Manik mata mereka bertemu, membuat mata Adzwa membulat saat melihat wajah gadis di hadapannya itu. Ia harap apa yang di lihatnya kali ini adalah mimpi, bukan nyata!
“Wajah itu, kenapa ... apa dia ...,” batin Adzwa yang menerka-nerka.
“Maaf, gue gak tau kalau ini bangku lo. Soalnya sejak hari jum’at bangku ini kosong, makanya gue duduki,” ucap cewek itu, yang tak lain adalah Zahra.
“Oh ... lo anak baru, ya. Anak baru aja udah songong lo, kenapa lo gak coba tanya aja sama orang bisa, kan? Lo punya mulut, kan, untuk tanya!” cetus Adzwa dengan perkataan pedasnya itu. Kali ini, ia marah bukan karena soal bangkunya. Namun, ada hal lain yang membuat dirinya marah melihat orang yang di hadapannya itu.
“Eh, Adzwa, wajar aja kali Zahra duduk di bangku lo. Dia, kan, gak tau dan itu salah lo, karena lo gak ada di sekolah,” gerutu Azka, yang duduk di bangkunya.
“Zahra, jadi bener dugaan gue kalau dia itu --- Ah, udahlah bodo amat!" batin Adzwa. “Diem lo kampret!” semburnya pada Azka.
“Eh, lo denger, ya. Gak semua hal bisa lo miliki, terutama bangku gue. Kalau lo ambil semuanya yang lo mau, orang lain mau dapet apa? Sisanya gitu? Setelah lo bosan, baru dikasih sama orang lain.” Entah kenapa, ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Adzwa, membuat Zahra terdiam.
“Maaf, tapi kalau lo gak suka gue duduk di sini, gue bisa pindah, kok,” ujar Zahra yang mengalah untuk kali ini.
“Gak perlu! Gue udah gak sudi duduk di bangku yang terlanjur orang lain duduki. Makan itu bangku!” umpat Adzwa, lalu beralih duduk di samping Azka. Karena sebelah bangku itu, tak ada penghuninya.
“Eh, itu bangkunya si Dim ---“ Belum sempat Azka selesai bicara, perkataannya terpotong oleh Adzwa. “Diem! Gue bilang diem. Gak usah ngomong!” sembur lagi Adzwa, membuat Azka mendengus kesal.
“Kenapa jadi gue yang kena?” tanyanya pada dirinya sendiri sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
Seisi kelas masih hening dengan kejadian barusan, tidak ada seorang siswa pun yang berani. Apalagi, kalau Adzwa sudah seperti ini, bisa-bisa Adzwa melahap semuanya dan dipanggang. Lalu, dijadikan manusia guling, bukan kambing guling lagi.