Diary Cewek Tomboy

Reza Lestari
Chapter #9

Diary Cewek Tomboy 8

Zivan dan Zahra tengah berjalan-jalan di sekitar kota Jakarta, bukan hanya sekedar jalan-jalan saja. Tetapi, mereka juga berniat untuk mencari Zahwa. Setelah 3 bulan yang lalu, keluarga mereka kembali ke Indonesia, dan pergi ke Bandung ke rumah omanya. Ternyata rumah itu sudah kosong, sehingga mereka tidak bisa menemui Zahwa, dan Oma yang katanya sudah pindah ke Jakarta.

Apalagi, mereka semua telah lost contact dengan omanya sejak beberapa tahun yang lalu. Dengan begitu, mereka kesulitan mencari alamat rumah Oma dan Zahwa sekarang.

"Kita mau cari ke mana lagi, Bang?" tanya Zahra.

"Gue juga gak tau, Ra. Sudah 3 bulan kita nyari alamat Oma sama Zahwa, tapi tetap aja hasilnya nihil," jawab Zivan.

Zahra menghela napasnya gusar, ia berharap mereka bisa bertemu dengan Zahwa lagi.

"Gue haus, nih. Gue beli minum dulu, ya, Bang. Lo tunggu di sana aja tuh bentar, biar adem di sana." Zivan mengangguk sebagai jawaban, saat itu juga Zahra pun pergi ke minimarket terdekat.

Zivan melangkahkan kakinya menuju tempat yang tadi di tunjuk Zahra. Saat Zivan hendak melintas jalan, dengan santainya ia berjalan tanpa menengok kiri maupun kanan hingga sebuah suara membuatnya terkejut.

Tin ... tin ...

Tin ... tin ...

"Awas!" teriak seseorang yang tak jauh dari belakang Zivan.

***

Sore ini Adzwa berniat untuk jalan-jalan sendiri, tapi bukan sebagai Adzwa yang di sekolah. Melainkan Adzwa versi jalanan. Namun, bukan berarti Adzwa anak jalanan. Sebenarnya jika boleh jujur, Adzwa selalu merasa tak bebas jika harus memakai masker dan kacamata, tapi mau bagaimana lagi? Itu adalah pilihannya, dan pilihannya itu ia gunakan saat pergi ke sekolah, atau jika sedang bersama teman sekolahnya saja.

Setelah siap dengan loose tee warna putih, ditambah kemeja planel kesayangannya yang sengaja tidak dikancing, celana jeans warna hitam robek-robek, topi beanie, serta sneakers kesayangan yang berwarna putih. Adzwa pun langsung keluar dari kamarnya, sebelum pergi Adzwa pamit terlebih dahulu pada Oma, ia harus minta izin agar selamat ke mana pun ia pergi.

“Oma aku izin pergi dulu, ya,” izin Adzwa saat menghampiri omanya, yang sedang membaca majalah.

“Meskipun Oma gak izinin kamu pergi, kamu akan tetap pergi, kan?” ucap Oma yang membuat Adzwa nyengir, sadar dengan yang dikatakan omanya.

“Oma bisa aja. Ya, udah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamitnya, sambil mencium punggung tangan Oma. Setelah mendengar jawaban dari Oma, Adzwa pun langsung pergi.

***

Cuaca hari ini sangat mendukung sekali bagi Adzwa, tak hujan dan tak terlalu panas juga. Jadi, hari ini Adzwa semakin semangat untuk jalan-jalan, cuaca seperti inilah yang selalu ditunggu Adzwa setiap kali ia ingin jalan-jalan.

“Gini, nih, yang gue mau. Tapi, sayang, gak punya temen gue,” ucapnya sedikit merasa sedih.

Beginilah nasib Adzwa yang selalu merasa tak punya teman, semua orang tak ada yang suka berteman dengannya. Mereka malah menjauhinya, dan membencinya. Adzwa menghela napasnya gusar, saat itu ia tak sengaja melihat seorang laki-laki bertubuh jangkung, yang tak jauh berada di depannya. Sepertinya laki-laki itu hendak menyebrang, tapi laki-laki itu tidak menengok kanan dan kiri.

Tin ... Tin ...

Tiba-tiba juga Adzwa mendengar klakson mobil tepat di kejauhan sana. Namun, melaju dengan sangat cepat yang mengarahkan pada lelaki itu, mobil itu semakin cepat mengarah pada dia.

Tin ... Tin ...

“Awas!” teriak Adzwa, dengan cepat ia lari ke arah lelaki itu, dan membawanya hingga ke pinggir jalan. Alhasil, lelaki itu tidak tertabrak, dan sial untuk Adzwa yang malah jatuh hingga tangannya terasa sakit, dan perih karena tergesek trotoar jalan itu.

“Aw ....” ringis Adzwa saat tangan kirinya benar-benar sakit.

Sorry, sorry, gara-gara lo nolongin gue, tangan lo jadi luka,” ucapnya yang kini ada dihadapan Adzwa.

Adzwa mendongkakkan kepala untuk mengetahui siapa orang yang berada di hadapannya.

“Zahra!” sontak Adzwa kaget saat melihat seseorang yang kali ini sangat ia kenal.

“Bang Zivan?” batin Adzwa, ternyata yang baru saja ia selamatkan adalah Zivan, kakak kandungnya yang selalu ia rindukan.

Hampir saja barusan Zivan celaka jika ia tak cepat membawanya ke pinggir trotoar itu, Adzwa bernapas lega saat melihat Zivan tak kenapa-kenapa.

“Sini biar gue bantu lo berdiri,” ucap Zivan sambil memegang kedua bahu Adzwa.

Adzwa sangat merindukan Zivan, ingin sekali ia memeluknya sekarang juga untuk melepas rindunya. Namun, itu tak mungkin.

“Untung lo cepat ke sini, Ra. Kalau enggak, mungkin tadi gue --- gak tau, deh, bakalan gimana,” lanjutnya, tapi Adzwa sedikit kesal karena Zivan menganggapnya Zahra.

“Bang Zivan. Maaf, ya, lama,” ucap seseorang yang baru saja datang tepat berada di belakang Adzwa.

Zivan membulatkan kedua matanya saat melihat orang sama, tepat di belakang orang yang baru saja menolongnya. “Zah-ra?” ucapnya kaget.

“Kenapa, sih, Bang? Aneh banget, lo?” tanya seseorang yang ada di belakang Adzwa, yang memang benar jika di belakang Adzwa sekarang adalah Zahra.

Tanpa menoleh ke belakang, Adzwa pun beranjak pergi dari tempat itu. Namun, langkahnya terhenti saat ada sebuah tangan yang menahan pergelangan tangannya. Zivan dengan sengaja menahan Adzwa dan tidak membiarkannya pergi.

“Lo Zahwa, kan?”

“Zahwa?” gumam Zahra, lalu berjalan mendekati Zivan dan melihat gadis yang ia lihat bersama Zivan tadi. 

Senyum Zahra mengembang saat melihat gadis yang berparas sama dengannya itu, akhirnya ia bertemu kembarannya.

“Lepasin gue!” Adzwa meronta agar tangannya bisa terlepas dari cengkraman Zivan.

“Lo Zahwa, kan? Gue —"

“Gue bilang lepasin! Gue bukan Zahwa! Lepasin tangan gue!” bentak Adzwa yang sebenarnya ia tak berniat seperti itu pada Zivan.

“Enggak! Gue yakin lo itu Zahwa, adik gue! Gue yakin itu lo.”

“Gue bilang gue bukan, Zahwa! Zahwa yang lo maksud udah mati! Jadi, percuma lo terus anggap gue, Zahwa!” balasnya.

“Gak mungkin, gue juga yakin kalau lo itu Zahwa, saudara kembar gue. Kenapa lo berbicara seperti itu?” tanya Zahra.

Lihat selengkapnya