Diary Cewek Tomboy

Reza Lestari
Chapter #11

Diary Cewek Tomboy 10

Saat sedang istirahat, Adzwa memilih untuk duduk di taman sekolah sendirian. Ia berusaha untuk menenangkan pikiran dan hatinya yang tidak tenang akhir-akhir ini.

"Sendirian aja!" ujar Azka yang baru saja membuyarkan lamunan Adzwa.

"Hmm."

"Lo kenapa?"

Adzwa menggelengkan kepalanya, seraya berkata, "Enggak kenapa-kenapa."

  

"Enggak kenapa-kenapa, tapi, kok, ngelamun mulu? Cerita dong sama gue."

Adzwa mengalihkan pandangannya pada Azka yang kini duduk di sebelahnya, mungkin tak ada salahnya jika Adzwa bercerita padanya.

"Terkadang, gue iri melihat orang-orang yang selalu tertawa lepas. Mereka bisa terlihat begitu ceria, senang, gembira, dan bahagia. Mereka punya semuanya, tapi kenapa gue enggak? Gue enggak punya satu pun apa yang mereka punya, yang ada gue hanya memiliki kebalikannya, yang enggak pernah mau gue punya sama sekali."

"Lo punya, kok, apa yang lo mau, tapi lo belum menyadarinya aja," ucap Azka yang membuat Adzwa tersenyum miris.

"Kalau gue belum menyadarinya, gue gak bakalan ngerasain apa-apa Azka. Dari dulu gue udah sadar, kalau gue nggak pernah ngerasain bahagia." Azka menatap kedua bola mata Adzwa dengan lekat, ia menemukan luka di mata Adzwa. Hanya saja, ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adzwa.

Adzwa kembali mengalihkan pandangannya lurus ke depan, ia tak mau jika Azka melihatnya menangis.

"Apa salah gue minta bahagia? Atau, emang gue enggak berhak untuk bahagia? Gue butuh alasannya, kenapa gue enggak bisa bahagia? Gue butuh alasan itu, agar gue enggak minta lagi kebahagian. Dan, biar gue engnggak akan mengharapkan lagi kebahagiaan." Adzwa menyenderkan kepalanya pada bahu Azka, dan mencoba memejamkan matanya berusaha mencari ketenangan.

Azka terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Adzwa sungguh misterius, susah untuk ditebak. Seringkali, Azka ingin tahu apa yang selalu dirasakan Adzwa setiap saat.

"Kapan pun lo mau nyender, bahu gue siap untuk menahan senderan lo," bisiknya.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 5 menit lalu. Namun, masih banyak siswa- siswi kelas 11 IPA-1 yang belum pulang, mereka masih merencanakan tempat untuk kerja kelompok dengan kelompoknya masing-masing.

"Azka, gimana kalau kita kerja kelompoknya di rumah gue aja," usul Zahra yang sekelompok dengan Azka, Adzwa, Aldi, Sandy dan Regi.

"Boleh juga, tuh," ucap Aldi.

"Gue juga setuju, tuh, di rumah Ayang Zahra," tambah Regi.

"Gue setuju pake banget!" seru Sandy.

"Gue, sih, ngi ---"

"Gue gak setuju!" sela Adzwa cepat.

"Lho, kenapa?" tanya Aldi, Sandy dan Regi serentak.

"Kenapa enggak mau, Wa?" tanya Azka.

"Ya, karena gue enggak mau! Kalau kalian mau di rumah dia, ya, udah kalian pergi aja. Tapi, tanpa gue! Gue bisa, kok, kerjain tugas sendiri tanpa harus ikut kerja kelompok sama kalian," ucap Adzwa yang semakin membuat mereka bingung.

"Kok, gitu, sih? Kita, kan, kelompok. Masa lo ngerjain sendiri, itu namanya gak adil dong," balas Azka, tak mengerti dengan apa mau Adzwa.

"Emm ... ya, udah kalau Adzwa gak mau di rumah gue. Gimana kalau di rumah lo aja, Wa?" usul lagi Zahra.

"Di rumah? Kalau dia ketemu sama Oma gimana? Kebongkar dong rahasia gue," batin Adzwa.

"Gue gak mau."

"Kenapa lagi?" tanya Aldi, Sandy dan Regi bersamaan.

"Lo gimana, sih, di rumah Zahra gak mau, di rumah lo juga gak mau. Terus mau di rumah siapa?" tanya Azka.

"Rumah lo!" sahutnya.

"Boleh juga, tuh, di rumah lo, Ka," ucap Zahra langsung setuju.

"Tapi, banyak makanan enggak di rumah lo? Kalau kagak ada males gue!" ujar Sandy.

"Dahareun wae nu aya dipikiran maneh mah curut!" celoteh Azka, sengaja menggunakan bahasa Sunda.

Sandy menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tak mengerti Azka berbicara apa. "Ngomong apa, sih, lo? Kagak ngarti gue?"

"Makanan mulu yang ada dipikiran lo curut!" sahut Adzwa mengubah perkataan Azka dari bahasa Sunda menjadi Indonesia.

"Kok, lo bisa ngerti apa yang dikatakan, Azka?"

"Iya, gue baru tau, lho, kalau lo bisa bahasa Sunda," ujar Azka heran.

"Emang kenapa, nyet? Enggak boleh kalau gue bisa bahasa Sunda?"

Azka menautkan sebelah alisnya saat mendengar panggilan Adzwa padanya. "Apa? Lo panggil gue, nyet?"

"Iya, nyet. Alias M-O-N-Y-E-T! Monyet!" jelas Adzwa yang menekankan kata, monyet.

"Nyet, kenapa bisa kebetulan kayak gini, ya? Yang manggil gue nyet cuma sahabat kecil gue aja. Tapi, kenapa --- ah udah lah. Cuma kebetulan aja," batin azka.

"Sembarangan lo ngatain gue, nyet!"

"Ya, terus lo ngatain gue harimau kutub, enggak sembarangan gitu? Egois banget lo!"

"Eh, eh, pada jadi kagak, sih?" tanya Aldi.

"Iya, ayo cepetan kenapa, malah berantem lu berdua. Gue kawinin juga lo berdua," gerutu Regi.

"Ya, udah, deh, ayo!" ajak Azka.

"Sekarang?" tanya Regi tak percaya.

"Ya, iyalah! Terus, mau kapan kalau nggak sekarang?"

"Lo yakin, Ka?"

"Ya, iyalah. Curut!"

"Nggak terlalu cepet, Ka?"

Azka menghela napasnya, kesal kalau bicara dengan Regi, yang terkadang tidak sampai ke otaknya. "Lo gimana, sih? Ya, enggak lah, lebih cepet lebih bagus."

"Wah ... Parah lo, Ka. Belum 17 tahun lo!" ujar Regi yang membuat Azka tak mengerti.

"Emang apa salahnya kalau gue belum 17 tahun?"

"Ya, masalah lah, itu artinya lo masih di bawah umur. Dapet KTP juga belum, udah mau sekarang aja." Azka benar-benar tak mengerti apa maksud Regi, begitu juga dengan yang lain.

"Maksud lo apa, sih? Gue enggak ngerti?" tanya Azka.

"Lo mau kawin sama Adzwa, kan?" jawab Regi santai.

"Huh?"

"Kata siapa lo? Ngasal banget kalau ngomong," ujar Adzwa angkat bicara.

"Lah, lo enggak denger. Barusan gue bilang, 'gue kawinin juga lo berdua' si Azka jawab 'ya, udah, deh, ayo'. Berarti dia mau kawin sama lo dong. Enggak salah, kan, gue?" Pantas saja, Azka tidak mengerti sedari tadi. Regi ke timur, Azka ke utara. Tidak akan bertemu, apalagi nyambung!

"Maksud gue itu, ayo ke rumah gue. CURUT!" koreksi Azka.

"Oh, berarti yang salah siapa?"

"LO!!!" sahut mereka berlima, lalu pergi meninggalkan Regi.

Lihat selengkapnya