Diary Cinta Naelsa Macaca Lova

Niken Anggraini
Chapter #2

Tercongkel


Rasa penasaran masih bergelayut di hati. Peristiwa apa saja yang kulalui saat itu? Apakah semua tertulis di sini? Atau diaryku ini isinya hanya tentang cinta semua?

Penasaran itulah yang membuatku akhirnya membuka kembali diary itu. Kubuka lembar berikutnya. Isinya menceritakan kejadian di bulan September. Sepertinya aku memang bukan orang yang rajin menulis diary setiap hari. Hanya pada saat-saat tertentu saja menuliskannya.


15 September 2000

Dear Diary

Hiiihhh....

Aku kesal sama Erina.

Dia itu kenapa sih?

Iri dan pengen jadi ketua kelas gitukah?

Aduuuhhh....

Kalau pengen jadi ketua kelas kenapa dia nggak mencalonkan diri waktu itu?


Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Aku ingat peristiwa ini. Peristiwa yang nggak akan aku lupa sampai beberapa tahun sesudahnya. Erina ini juga teman sekelasku. Ia lebih pendek dariku sekitar 5-6 cm. Berkulit kuning sama kayak aku. Berambut megar keriting. Berhidung bangir. Aku baru tahu belakangan, kalau dia ternyata juga naksir Irham.

Erina ini pernah menuduhku mencuri bukunya. Padahal dia nggak punya bukti kalau aku mengambil bukunya. Ia hanya mengira-ngira saja kalau aku mengambil bukunya. Gara-garanya sepele kalau menurutku, waktu mengambil buku paket dari ruang guru, sepertinya di tumpukan buku yang ia bawa nggak ada buku paket matematikanya, kebetulan di sekolahku untuk pembelian buku pelajaran dikoordinasi oleh pihak sekolah usai membayar uang daftar ulang. Pas dia mengambil jatah buku-buku itu kebetulan ia ke ruang gurunya bareng aku. Dia nggak mengecek jumlah bukunya.

Setelah masuk kelas, saat dia mengecek, buku paket matematikanya nggak ada, dia langsung nuduh aku mengambil bukunya. Dia langsung narik buku matematika milikku. Saat itu aku lagi asyik memberi nama di buku-buku yang sudah kuambil itu. Kebetulan buku matematika belum aku kasih nama, dia langsung merebutnya.

Jelas aku nggak terima. Aku berdiri dan merebut buku itu lagi. Begitu dapat aku langsung memberi nama di buku itu. Bahkan aku tandatangani juga karena aku takut direbut sama Erina lagi.

Sayangnya masalah nggak berhenti di situ. Saat pelajaran matematika, Erina bikin ulah. Ia lapor ke guru matematika kalau aku mencuri bukunya. Guru matematika memanggilku. Aku disuruh mengembalikan buku paket itu. Aku menolak. Itu bukuku. Erina langsung menuju mejaku dan mengambil buku paketku.

”Ini buku saya pak. Naelsa sengaja ngasih nama dan tandatangan. Biar nggak ketahuan kalau dia yang ngambil buku saya."

Jelas aku berang. Aku nggak ngambil bukunya dituduh seperti itu. Akhirnya kami ribut di kelas. Semua murid memperhatikan. Akhirnya pak guru menyuruhku menyerahkan buku itu ke Erina. Ini yang bikin aku kesal. Aku merasa guruku nggak adil. Aku itu nggak mencuri tapi diperlakukan kayak pencuri. Padahal aku sudah bilang aku nggak mencuri bukunya Erina. Toh, Erina juga nggak bisa membuktikan kalau aku mengambil buku paket matematikanya. Dia cuma bilang buku paket matematikanya nggak ada, tapi saya ngambil buku-buku itu ke ruang guru bareng Naelsa pak. Cuma itu kata-katanya. Tapi itu kan bukan bukti kalau aku mengambil bukunya. Bisa jadi guru yang kebagian tugas membagi buku belum memasukkan buku paket matematika ke tumpukan bukunya Erina. Tapi karena Erina vokal dan berakting sebagai korban akhirnya guruku memerintahkan aku menyerahkan buku itu.

Sumpah ya, kalau inget kejadian itu aku emosi banget. Bagaimana aku sampai dapat perlakuan seperti itu? Keliatannya ini mungkin sepele buat orang lain. Tapi itu besar buat aku. Seumur hidup orang-orang akan mengenalku sebagai pencuri buku paket milik Erina. Kejadian itu bener-bener mengecewakan.

Dan khusus catatanku di diary yang barusan kubaca ini, kejadiannya di kelas 1 SMP. Waktu itu aku ketua kelas. Sepertinya bibit permusuhan antara aku dan Erina sudah ada sejak kelas 1 itu. Entah apa penyebab awalnya, tapi Erina dan aku sepertinya selalu berhadap-hadapan dengan kondisi seperti ini.

Di kelas satu itu, aku serasa mengalami fase di kudeta. Erina berusaha mendongkelku turun dari jabatan ketua kelas. Aku inget banget kejadian ini.

Waktu itu pelajaran PPKn. Guru kami Pak Riady sedang mengajar. Sewaktu beliau memberikan kesempatan bertanya, Erina tunjuk jari. Dia bertanya tentang butir-butir Pancasila yang dikait-kaitkan dengan caraku menjadi ketua kelas. Pertanyaan ini terasa menyudutkanku. Menurutku melenceng aja. Nggak ada hubungannya sama pelajaran yang habis diterangkan oleh Pak Riady. Karena menyudutkan, akhirnya sewaktu ada giliran bertanya selanjutnya aku segera tunjuk jari. Aku bertanya sambil membela diri yang aku kait-kaitkan juga dengan butir-butir Pancasila.

Akhirnya kami bersitegang. Aku merasa jawaban dari Pak Riady juga setuju dengan caraku saat mengurusi kelas. Jadi kebenaran itu kan bisa dilihat dari dua sisi. Erina inginnya dari sisi dialah yang benar. Karena kami ribut, Pak Riady bertanya ada masalah apa? Erina yang memberikan jawaban. Dan karena penjelasan itulah, Pak Riady memutuskan untuk diadakan pemilihan ketua kelas ulang. Akhirnya, hari itu kami mengadakan pemilihan ketua kelas lagi.

Aku sih nggak masalah. Toh, aku dulu juga nggak niat jadi ketua kelas. Tapi karena suara terbanyak milih aku akhirnya aku jadi ketua kelas. Jadi kalau dicongkel dari jabatan ini pun nggak masalah buatku.

Dan pemilihan ketua kelas yang di pimpin Pak Riady ini menentukan Brian sebagai ketua kelas. Aku sih cuek. Nggak ambil pusing siapa yang terpilih pada akhirnya.

Yang aku ingat, pas pelajaran Bahasa Inggris beberapa hari kemudian, si Erina dan Brian menemuiku sebelum jam masuk sekolah dimulai.

Lihat selengkapnya