5 Desember 2000
Dear Diary
Hari ini ujian mata pelajaran bahasa Indonesia dan Matematika
Aku banyak nggak bisa untuk soal matematika
Aku tadi keluar hampir yang paling akhir
Irham ngasih aku contekan
Aku malah deg-degan nerima contekannya
Seketika kejadian Irham memberikan contekan ini segera berputar di kepalaku.
Aku melirik ke dalam kelas. Hanya tinggal beberapa orang saja. Sekitar sepuluhan orang. Kalau ujian seperti ini sekolahku menggabungkan duduknya dengan anak kelas 2. Tadi juga seperti itu. Aku tidak duduk dengan Sriana. Tapi dengan Kak Nadya. Sesuai nomor urut absen kami. Selama ujian berlangsung, duduk kami akan seperti ini. Absenku nomor 20. Kak Nadya juga nomor 20. Jadi kami sebangku. Sriana entah sebangku dengan siapa.
Kak Nadya sudah keluar kelas sejak sekitar 15 menit yang lalu. Aku gelisah. Matematika bukan mata pelajaran yang aku sukai. Dan nilaiku terbilang jelek di pelajaran ini. Ada 6 soal yang belum selesai. Sekalipun pertanyaannya merupakan pilihan jawaban yang sudah di sediakan, tapi tetap saja aku nggak ngerti musti memilih yang A, yang B, yang C atau yang D. Semuanya membingungkan. Aku melirik ke arah jendela sisi deretan meja guru. Niatnya cuma membuang pandangan saja. Tapi ternyata Irham sedang melihat ke arahku.
Aku melihat ekspresi wajahnya. Sepertinya ia sedang menatapku sembari bertanya lewat gerakan mulutnya. Ia seperti sedang bertanya, sudah belum? Aku bilang belum sambil menggeleng ringan. Sambil melirik ke arah Bu Guru juga. Yang jaga kelas kami Bu Lina guru PPKn anak kelas 2. Beliau sedang serius membaca koran sejak tadi.
Irham bertanya lewat gerakan mulutnya. Ia sedang mengucapkan nomor berapa ke padaku Aku melirik ke arah Bu Lina. Setelah yakin beliau tak melihatku, aku menyebutkan nomor berapa saja yang aku belum bisa jawab.
Terlihat Irham menggerakkan bolpoinnya ke arah sesuatu. Entah apa itu. Yang ada aku jadi makin gelisah ketika satu orang teman sekelasku maju menyerahkan lembar jawabannya ke arah Bu Lina. Itu artinya semakin sedikit jumlah orang yang ada di dalam kelas. Aku coba membaca sekali lagi soal yang ada di mejaku.
Bu Lina kembali membaca koran setelah menerima lembar jawaban. Irham dan seorang kakak kelas yang ada di depannya berdiri maju ke arah Bu Lina. Mereka menyerahkan lembar jawabannya. Setelah itu kembali ke meja masing-masing untuk membereskan perlengkapan mereka dan mengambil tasnya sebelum keluar.
”Yang belum selesai nggak usah khawatir. Masih ada waktu 20 menit. Yang sudah selesai coba di cek lagi lembar jawabannya sebelum dikumpulkan di meja saya,” kata Bu Lina.
Aku menghembuskan nafas panjang. Aku duduk di deretan kursi sisi kanan. Deretan kedua dari arah pintu. Aku menatap keluar kelas. Tiba-tiba saja aku mendengar seseorang bergerak dari meja di deretan sebelah kiriku.
Aku menoleh. Ternyata Irham yang berjalan mau keluar kelas. Ia bukan keluar lewat meja depan Bu Lina. Tapi berjalan melintasi kursi deretan di sebelahku. Irham sampai di sebelahku. Tangan kanannya tampak memegang sesuatu. Ia berjalan tanpa melihat ke arahku. Dengan gerakan cepat ia meletakkan penghapus ke mejaku terus berjalan keluar.
Aku yang kaget dengan aksinya itu melirik ke arah Bu Lina. Penjaga kelasku saat ujian itu tampak masih tenggelam dalam bacaan korannya. Aku menatap Irham yang sudah di dekat pintu untuk keluar. Dengan gerakan isyarat ia memberikan sinyal supaya aku melihat ke penghapus yang ia berikan tadi sebelum akhirnya berlalu.
Segera aku lihat dengan seksama penghapus tadi. Ternyata ada tulisannya di penghapus itu. Irham memberikan jawaban yang aku tanyakan padanya. Buru-buru aku menjawab nomor-nomor yang masih aku kosongi jawabannya tadi itu. Aku mencontek dari penghapus yang diberikan Irham. Aku melakukannya dengan perasaan was-was takut ketahuan Bu Lina.
***
4 Januari 2001
Dear Diary
Aku lagi ngobrol sama Irham
Muncul Erina, Devi, Amara dan Arnela
Mereka punya ide pengen ngebentuk kelompok belajar bersama
Ditolak sama Irham
Aku mengalihkan pandanganku dari Diary ke arah tembok yang ada di depanku. Sedikit berpikir ini kejadian yang mana. Ada banyak kejadian yang aku alami sewaktu sekolah dulu. Terbilang wajarlah kalau aku tak ingat semuanya. Itu sebabnya aku memerlukan sedikit waktu untuk mengingatnya.
Jam istirahat sedang berlangsung. Aku baru saja balik dari kantin bersama teman sebangkuku, Sriana. Sekitar 5 menit lagi jam istirahat akan berakhir. Kami masuk ke kelas berniat untuk mengobrol menunggu jam masuk.
Irham menyapaku. Ia tadi masuk kelas bersama Tri Dianto. Ia ke bangkunya Tri terlebih dahulu sebelum ke bangkunya sendiri sambil menenteng buku tulisnya Tri.
”Nae, tugas Fisikamu udah selesai semua?” tanya Irham yang kini sudah berdiri di dekat mejaku.
”Udah."
”Boleh liat?”
”Boleh."
Pelajaran setelah jam istirahat nanti memang memang pelajaran Fisika. Ada tugas dari Pak Setiawan. Kami mengerjakan PR itu di rumah. Nanti akan dikoreksi.
Aku membuka tasku. Sriana hanya melihat saja apa yang aku lakukan. Buku sudah di tanganku. Aku menyodorkan bukuku itu ke Irham. Tampak Irham membuka bukuku dan mencocokkan dengan buku yang ada di tangannya. Wajahnya terlihat serius.
”Kenapa? Ada apa?”
Irham menarik pandangan matanya dari buku ke arahku.