Diary Ingin Cerita

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #1

Amnesia

“Ayo! Kalian buat tenda masing-masing dari ponco!” seru Kak Adit dari kejauhan di tengah deru jarum-jarum hujan yang menusuk bumi dengan cepat. Jas hujan model ponco yang sedang dipakai oleh para peserta diklat itu sekarang harus mereka lepas untuk dijadikan tenda? Ya, ampun!

Nilam bukannya tak tahu fungsi lain dari jas hujan ponco ini. Jas hujan yang hanya terdiri dari satu lembar persegi panjang dengan lubang di tengah tempat kepala masuk. Sebelumnya, para senior sudah mengajarkan caranya membuat tenda dari ponco.

Cukup dengan mengikat lubang di tengah agar tertutup rapat, menyampirkan jas hujan ini di atas tali yang terbentang seperti menjemur pakaian, kemudian keempat ujungnya dikaitkan pada pasak. Bagian bawah “jemuran ponco” pun siap digunakan sebagai tempat berlindung.

Namun, malam sedemikian kelam. Mata minus Nilam sudah sangat kesulitan mengenali benda-benda di sekelilingnya. Kacamatanya semakin tebal dilapisi guyuran hujan yang menumpuk. Hawa dingin di tengah tubuh gunung terus saja memaksa Nilam untuk tetap menggigil. Tak ada lagi kesibukan yang bisa dilakukan Nilam selain itu.

“Cari dua pohon untuk memasang tali! Cari empat batu besar untuk pasak! Cepat! Cepat! Cepat!” instruksi Kak Adit kembali menggaung. Seharusnya, itu cukup membantu Nilam untuk tahu langkah praktis apa yang bisa diambilnya. Namun, ia sudah sangat kelelahan.

Di mana pohon? Apanya yang batu besar? Batu-batu ini memeluk tanah dengan erat! Bagaimana aku bisa mengangkat dan memindahkannya ke dekat pohon? Nilam semakin kacau pikirannya. Ia hanya bisa berharap pada teman di dekatnya yang terkenal baik hati.

“Putu, bantu aku, ya. Buatkan tenda untukku. Aku sudah tidak kuat lagi,” ucap Nilam terpatah-patah dengan bibir yang terus bergetar di suhu rendah. Nilam bahkan tak tahu mana yang lebih baik, berdiri menggigil atau duduk di tanah yang bisa berisi apa saja di atasnya. Mata Nilam tak mampu menjangkaunya. Kulit Nilam sudah mati rasa untuk meraba permukaannya.

Wajah letih Putu baru saja lega melihat tendanya berdiri. Mendadak ia kembali gusar melihat kondisi Nilam yang sangat memprihatinkan. Tak mungkin ia egois dan berharap bisa beristirahat dengan tenang, jika melihat temannya masih kesusahan seperti itu.

Nilam menyerahkan ponco dan tali rafianya ke Putu. Ia semakin kedinginan kini tanpa jas hujan. Putu kelabakan. Segera dimintanya Nilam untuk berteduh dulu di dalam tendanya, “Kamu masuk sini biar nggak kedinginan!”

 Nilam hanya bisa mengangguk lemah. Dicobanya melangkahkan kaki mendekati tenda Putu yang cuma sejauh satu meter dari tempatnya berdiri. Putu pun segera mencari lokasi yang baik untuk mendirikan tenda Nilam.

Begitu selesai, Putu bergegas menemui Nilam untuk memberitahunya. Apa mau dikata, ternyata tenda Putu kosong! Takada Nilam di sana. Putu kebingungan mencari Nilam. Namun, ia segera mendapatkan jawabannya.

Rupanya, Nilam belum sempat beranjak dari tempatnya semula. Ia tersandung batu besar saat melangkah dan jatuh tertidur. Nilam benar-benar tak sanggup lagi melawan rasa lelah yang menyerang sekujur tubuhnya.

Lihat selengkapnya