Diary,
Dari angin aku belajar bahwa tak semua hal di dunia ini selamanya berada dalam genggaman.
Dari hujan aku belajar bahwa tak semua kehilangan harus terus ditangisi.
Dan dari bintang Aku belajar bahwa Ia tak kan bersinar tanpa langit gelap.
Aku melirik jam beker di atas nakas, jarum pendeknya mengarah ke angka empat.
Aku lalu menutup buku diaryku. Kemudian berjalan malas keluar dari kamar. Ini pasti akan menjadi sore yang melelahkan. Sebenarnya aku sangat suka pepohonan karena dedaunannya yang menyejukkan. Tempat terbaik untuk menjernihkan pikiran ku yang kusam.
Tapi aku benci tahap yang ini, tahap yang menjadi kewajibanku setiap tiga hari sekali. Yaitu, membersihkan halaman dari dedaunan kering.
Aku menghentikan langkahku ketika melihat ibu dan adikku yang sedang menonton televisi. Aku jadi penasaran apa yang membuat mereka sampai tertawa kencang seperti itu.
Ternyata itu film animasi hewan. Sebenarnya, aku tidak terlalu mendengar apa yang dibicarakan disana. Tapi melihat tokohnya, Aku juga ikut tertawa. Karena di tv itu terpampang wajah kedua bebek yang persis seperti kedua orang yang tengah menonton mereka.
Keduanya seperti sedang tertawa melihat wujud asli mereka. Berbibir panjang dan monyong, seperti mulut mereka ketika sedang menyuruh ku, ini dan itu.
Aku melanjutkan langkahku menuju pekarangan. Aku menghela nafas ketika melihat daun-daun yang bertebaran lebih banyak dari biasanya. Angin memang seringkali bertiup kencang karena sedang musim hujan.
Aku mulai menyapu di berbagai sisi, mengumpulkan sampahnya disatu tempat, kemudian memasukkannya ke dalam plastik sampah.
Aku duduk di atas bangku panjang, menyeka keringat yang terus bercucuran. Mataku memandangi pekarangan yang sudah lumayan bersih.
Sebenarnya, berada di sini mengingatkanku pada banyak memori indah.