Pagi ini hujan gemericik jatuh perlahan, matahari masih tertutup awan mendung yang pekat, Nadia akhirnya tiba di depan kamar kos Anisa. Dia sudah beberapa kali mengirim pesan dan menelepon Anisa, tapi tak ada satu pun yang berbalas. Sejak kemarin, perasaan cemas mulai merayap di pikirannya, terutama karena Anisa selalu menjadi orang yang cepat merespon pesan, apalagi saat sedang merasa down. Namun, kali ini berbeda.
Nadia mengetuk pintu beberapa kali dengan hati-hati, berharap ada jawaban dari dalam.
“Anisa, kamu di dalam?” panggil Nadia, suaranya sedikit bergetar. Sunyi. Dia memutar gagang pintu, dan pintu itu terbuka dengan mudah.
Nadia merasa sedikit lega bahwa pintu tidak terkunci, tetapi juga khawatir tentang apa yang mungkin dia temukan di dalam.
Nadia melangkah masuk, matanya cepat menyapu seisi kamar. Kamar Anisa tampak seperti biasa—sederhana dan rapi, meskipun ada sedikit kekacauan di meja kerja. Di situ terdapat beberapa buku yang terbuka, selembar kertas yang penuh dengan coretan, dan… sebuah diary dengan sampul merah tua yang terbuka di tengahnya.
"Nggak biasanya Anisa ninggalin barangnya terbuka begini," gumam Nadia pelan sambil mendekati meja kerja.
Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dari cara diary itu terbuka, seolah-olah sedang menunggu seseorang untuk membacanya.
Rasa penasaran mulai muncul di hati Nadia. Anisa selalu menjaga diary-nya dengan sangat hati-hati, seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya yang paling pribadi.
Perlahan, Nadia mengambil diary itu dengan kedua tangan. Dia menatap halaman yang terbuka di depannya. Tulisan tangan Anisa yang rapi terpampang di sana, dimulai dengan catatan harian biasa tentang kegiatannya di kampus dan beberapa keluhan ringan tentang tugas yang menumpuk. Namun, semakin Nadia membaca, semakin berubah nada tulisan Anisa.
“Kenapa kalimatnya jadi... suram begini?” Nadia bertanya pada dirinya sendiri, matanya terus bergerak mengikuti kata-kata di halaman. Di situ tertulis tentang betapa tertekannya Anisa dengan hidupnya, bagaimana dia merasa terjebak dan tidak ada yang mengerti perasaannya. Nadia mulai merasa tidak nyaman. Dia mengenal Anisa sebagai seseorang yang ceria dan kuat, tetapi tulisan ini menunjukkan sisi lain yang sangat gelap dari sahabatnya.
“Aku selalu berpikir kalau aku ini kuat, tapi ternyata… aku hanya berusaha terlihat kuat,” demikian salah satu kalimat yang ditulis Anisa.