Nadia masih berusaha mencerna setiap kalimat yang tertulis di diary milik Anisa, setiap kata yang tertulis di sana seperti menarik-narik jiwanya untuk terus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Nadia yang duduk di tepi tempat tidur, beberapa kali menarik napas dalam-dalam sebelum dia kembali untuk membaca diary Anisa.
Ia menurunkan tas dan mengeluarkan diary tersebut. Halaman demi halaman diary yang sederhana ini akan mengungkapkan rahasia yang selama ini tersembunyi. Nadia membuka halaman pertama dengan hati-hati, memeriksa setiap kata yang ditulis dengan tangan yang tidak lagi begitu kuat.
“Semester ini aku berjuang di sini,” Nadia membaca keras-keras, suaranya hampir seperti bisikan.
“Terlalu berat untukku.” Setiap kata terasa seperti beban yang menjatuhkan di bahunya. Nadia bisa merasakan betapa tertekannya Anisa, dan ia merasa hatinya mulai menghangat oleh rasa empati dan kesedihan.
Nadia melanjutkan ke halaman berikutnya, dan setiap halaman menyajikan kesedihan yang semakin mendalam.
“Sakit sekali. Beban fisiknya begitu besar,” Anisa menulis.
Nadia menempatkan diary tersebut di sampingnya, memandangnya sejenak sebelum melanjutkan.
“Ini tidak bisa menjadi satu-satunya yang Anisa rasakan. Dia pasti merasa begitu tertekan,” Nadia bergumam pada dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah membaca hati Anisa secara langsung, merasakan kesakitan yang Anisa ungkapkan melalui tulisan-tulisannya.
Di halaman berikutnya, Nadia membaca tulisan yang menggambarkan kelelahan fisik dan mental Anisa.
“Aku tidak sanggup setiap hari bekerja seperti ini. Ada yang bisa menolong saya?” Nadia membolak-balik halaman dengan lembut, melihat bagaimana Anisa merasa terjebak dalam rutinitas yang sangat berat dan melelahkan.
“Tuhan, mengapa dia harus melalui semua ini sendirian?” Nadia bertanya pada langit-langit kamar, seolah-olah Tuhan sendiri bisa memberikan jawaban langsung.
“Bagaimana bisa Anisa merasa begitu terasing?” Hatinya terasa remuk setiap kali ia membaca kalimat yang menunjukkan betapa Anisa merasa tidak ada yang bisa membantunya.
Ketika ia sampai pada bagian yang paling menyentuh, Nadia merasa air mata mulai menggenang di matanya.
Anisa menulis dengan penuh rasa sakit, “Apa Tuhan tahu saya tersiksa? Kenapa setiap kali aku berharap, tidak pernah ada jawabannya?” Nadia membayangkan betapa dalamnya kesedihan Anisa dan merasa sangat marah pada dirinya sendiri karena tidak menyadari apa yang sahabatnya alami.