Pagi itu, suasana di luar gedung kos-kosan Nadia terasa sepi. Angin musim kemarau yang kering menyapu dedaunan di trotoar, mengantarkan Nadia yang berjalan dengan langkah gontai menuju kantor polisi.
Tas di pundaknya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena barang bawaannya, tetapi karena beban emosional yang menghimpitnya sejak kematian Anisa.
Di dalam tas itu, ada sebuah diary kecil, satu-satunya peninggalan Anisa yang kini menjadi kunci bagi Nadia untuk mengungkap misteri yang belum terpecahkan.
Anisa, sahabatnya selama dua tahun terakhir, kini hanya tinggal kenangan. Nadia tak pernah menyangka bahwa malam itu adalah kali terakhir mereka bercengkerama, kali terakhir ia melihat senyum Anisa yang penuh dengan kepedihan yang terselubung.
Sesampainya di kantor polisi, Nadia merasakan kegugupan menjalar di sekujur tubuhnya.
Ruang tunggu yang penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, seolah tak memedulikan kehadirannya. Tapi bagi Nadia, setiap detik yang berlalu terasa sangat lambat.
Seorang petugas polisi yang sedang duduk di meja resepsionis menoleh ketika melihat Nadia berdiri di depannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas dengan nada formal yang terdengar sedikit kaku.
Nadia mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya ingin melaporkan sesuatu. Ini menyangkut kematian teman saya, Anisa Rahma. Saya menemukan diary ini di kamarnya," katanya, sambil mengeluarkan diary dari tasnya dan meletakkannya di meja.
Petugas polisi itu memandang diary tersebut sejenak, kemudian menatap wajah Nadia dengan pandangan penuh selidik.
"Apakah Anda sudah melaporkan ini sebelumnya?" tanyanya.
Nadia menggeleng pelan. "Belum. Saya baru menemukannya beberapa hari yang lalu. Saya merasa ini penting, dan mungkin bisa membantu penyelidikan."
Petugas itu mengangguk. "Baik, saya akan mencatat laporan Anda. Silakan duduk, kami akan segera menindaklanjutinya."
Nadia merasa sedikit lega setelah menyerahkan diary itu kepada pihak berwajib. Namun, hatinya masih penuh dengan ketidakpastian. Dia berharap, dengan penemuan ini, akan ada penyelidikan lebih lanjut yang bisa memberikan keadilan bagi Anisa.
Hari-hari berlalu, dan Nadia menunggu dengan cemas kabar dari polisi. Setiap kali teleponnya berdering, dia berharap itu adalah kabar tentang perkembangan kasus Anisa.
Namun, telepon yang ditunggu-tunggu itu baru datang seminggu kemudian. Seorang penyidik menghubunginya, memberitahu bahwa mereka telah menyimpulkan kasus ini sebagai bunuh diri murni.
“Setelah mempertimbangkan bukti-bukti yang ada, kami telah menutup kasus ini sebagai bunuh diri,” kata penyidik itu dengan nada tenang, seolah hal ini sudah menjadi rutinitas.