Nadia duduk sendirian di ruang tamunya yang sepi. Setiap sudut kamar kosnya tampak seperti refleksi dari perasaannya—kosong dan hampa. Secangkir teh yang sudah dingin di atas meja kopi menjadi saksi bisu dari ketidakberdayaannya.
Tatapan Nadia terarah pada jendela besar yang menghadap ke kota, seolah berharap pemandangan luar sana bisa memberinya jawaban atau sedikit kelegaan.
“Dua minggu sudah berlalu, dan semua orang seolah telah melupakan Anisa. Kenapa hanya aku yang masih terjebak dalam semua ini?” Nadia berbicara pada dirinya sendiri, suaranya terdengar lemah dan penuh kebingungan.
Di hadapannya, meja kopi yang penuh dengan dokumen berantakan terlihat seperti medan pertempuran. Artikel berita, catatan-catatan, dan foto-foto Anisa tersebar di Internet, seakan mengingatkan Nadia pada kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya.
Nadia menarik napas dalam-dalam dan menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa putus asa yang menggerogoti hatinya.
Tiba-tiba, suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan. Nadia terbangun dari lamunannya, berdiri dengan susah payah, dan melangkah menuju pintu.
Begitu membuka pintu, dia melihat sebuah paket coklat sederhana tergeletak di depan pintunya. Label pengirim yang tidak dikenal menghiasi paket tersebut.
“Apa ini? Tidak ada nama pengirim, hanya alamat yang tidak dikenal.” Nadia berbisik pelan, menatap paket itu dengan alis yang berkerut.
Dia memungut paket itu dan membawanya ke meja makan, duduk dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit kecemasan. Tangannya agak gemetar saat mulai membuka paket tersebut.
Kertas kemasan berwarna coklat terkelupas satu per satu, mengungkapkan sebuah buku diary yang tebal. Diary ini tampak berbeda dari diary yang dia serahkan kepada pihak berwajib. Halamannya tampak lebih banyak dan lebih padat isinya.
“Ini... ini bukan diary yang sama. Kenapa ada diary lain? Apa maksud dari semua ini?” Nadia bergumam pelan, perasaannya campur aduk antara ketakutan dan keingintahuan.
Dengan tangan gemetar, Nadia membuka diary baru tersebut. Setiap halaman penuh dengan tulisan tangan Anisa yang rapi, terlihat seperti sebuah novel yang belum pernah dibaca sebelumnya.
Setiap kata terasa seperti pesan rahasia yang menunggu untuk diungkapkan.
“Anisa... Apa yang kamu coba katakan? Kenapa tidak ada yang tahu tentang semua ini?” Nadia membaca dengan penuh perhatian, setiap kalimat terasa seperti sebuah pukulan emosional.
---