Nadia duduk di ruang tamunya yang sunyi. Di hadapannya, diary Anisa terbuka, memperlihatkan halaman pertama dari bab yang belum dia baca.
Suasana tenang di ruangan itu terasa kontras dengan kegelisahan yang berputar-putar dalam pikirannya.
Nadia tahu bahwa apa yang akan dia baca bisa mengguncang hatinya, tapi dia sudah bertekad untuk melakukannya.
Anisa mempercayakan diary ini padanya, dan sekarang, Nadia merasa memiliki tanggung jawab untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya.
Nadia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai membaca.
"Aku harus siap menghadapi apa pun yang akan aku temukan di sini," gumamnya pelan.
Tangan Nadia sedikit gemetar saat ia membalik halaman pertama, mengarahkan pandangannya pada tulisan tangan Anisa yang rapi namun penuh emosi.
Di halaman pertama, Anisa menulis tentang hari itu—hari di mana semuanya berubah.
Nadia bisa membayangkan Anisa yang cemas, dengan napasnya yang berat saat menuliskan setiap kata. Kalimat demi kalimat membawa Nadia kembali ke hari itu, hari yang menjadi awal dari penderitaan Anisa.
***
Hari itu di ruang perawatan rumah sakit, Anisa dan Fitri sedang bertugas.
Suasana di ruangan itu sibuk seperti biasa, dengan suara mesin medis yang berdengung dan langkah-langkah cepat para perawat yang berlalu lalang.
Pasien-pasien terbaring di tempat tidur mereka, beberapa di antaranya tampak kritis.
Anisa sedang memeriksa catatan medis seorang pasien ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari sebelahnya.
Fitri, rekan kerjanya yang juga seorang perawat, baru saja memasukkan selang infus ke dalam pembuluh darah pasien, tetapi ada sesuatu yang salah.
Anisa segera menyadari bahwa selang itu dimasukkan dengan posisi yang salah, dan jika dibiarkan, bisa menyebabkan pendarahan yang serius.
"Fitri, tunggu! Selang infusnya salah!" seru Anisa dengan cepat, mencoba mencegah bencana yang lebih besar. Dia bergerak cepat ke sisi pasien, mencoba memperbaiki kesalahan itu sebelum terlambat.