Matahari pagi menyusup melalui tirai tipis di kamar kos Nadia, memberikan cahaya lembut yang memantulkan kehangatan di ruangan itu. Namun, tidak ada kehangatan yang menyelimuti hati Nadia saat ini.
Nadia duduk di sofa, tubuhnya tenggelam dalam empuknya kursi, sementara diary milik Anisa terbuka di pangkuannya. Setiap kata yang baru saja dibacanya menghantui pikirannya, berputar-putar seperti angin ribut yang tak kunjung reda.
Nadia memandang halaman-halaman di depannya dengan tatapan kosong, mencoba meresapi perasaan yang diungkapkan dalam tulisan tangan Anisa yang rapi namun penuh dengan emosi yang terpendam. Setiap kalimat seolah mengalirkan kepedihan yang tidak pernah disadari oleh Nadia.
“Apa yang terjadi setelah itu?” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.
"Kenapa Anisa harus melewati semua ini sendirian?"
Dia menggigit bibir bawahnya, rasa bersalah menyeruak di hatinya. Betapa seringnya dia sibuk dengan urusan pribadinya, terlalu tenggelam dalam pekerjaannya, hingga mengabaikan sahabatnya sendiri.
Semua momen yang seharusnya dihabiskan bersama, digantikan dengan alasan-alasan klise seperti "Aku sibuk" atau "Nanti saja, ya."
Anisa, dengan senyum manisnya, selalu menerima alasan itu tanpa sedikit pun mengeluh.
Nadia mendesah pelan, meletakkan diary itu di sampingnya. Namun, pikirannya tak mau berhenti berputar. Dia tahu ada lebih banyak cerita yang belum terbaca, lebih banyak perasaan yang belum tersingkap.
"Aku harus tahu lebih banyak," pikirnya dengan tegas.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nadia membuka kembali diary itu, kali ini menelusuri daftar isi. Perasaannya bercampur aduk, antara rasa penasaran dan rasa takut akan apa yang mungkin dia temukan.
Ketika Nadia mencapai halaman depan, matanya langsung tertuju pada salah satu judul bab yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang: "Nadia, Sahabatku Super Sibuk."
“Kenapa ada namaku di sini?” gumam Nadia dengan suara bergetar. Sebuah perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya. Dia segera teringat pada semua momen ketika dia terlalu sibuk untuk Anisa, terlalu sibuk untuk benar-benar hadir.
"Apa yang Anisa rasakan tentang aku? Apakah dia pernah merasa aku tidak peduli?"
Tanpa berpikir panjang, Nadia membuka halaman keenam, mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. Namun, yang dia temukan hanya lembaran-lembaran yang tersobek, compang-camping dan tidak terbaca.