Nadia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Suara riuh para pasien dan dering alat medis di rumah sakit hanya menjadi latar belakang yang samar terdengar di telinganya. Ia baru saja selesai dengan shift malam yang melelahkan di unit pediatri, dan tubuhnya mendambakan istirahat. Namun pikirannya terusik oleh satu hal yang tak bisa ia abaikan.
Ia membuka akun Instagram @HiddenEyes dan melihat lagi unggahan yang membuat hatinya berdebar sejak pertama kali melihatnya.
Postingan itu masih ada di sana, menampilkan halaman pertama diary Anisa yang sekarang berada di tangan Nadia.
Komentar-komentar netizen bertebaran di bawahnya, masing-masing dengan pendapatnya sendiri, ada yang menyemangati, ada yang mencaci, dan ada yang seolah-olah tahu segalanya.
"Astaga, banyak yang sok tahu," gumam Nadia, melemparkan ponselnya ke atas meja kerja.
"Mereka tidak tahu apa-apa tentang Anisa, tapi berbicara seolah-olah mereka tahu seluruh ceritanya."
Nadia merasa marah, tapi lebih dari itu, ia merasa takut. Jika seseorang bisa mendapatkan akses ke diary Anisa dan mempublikasikan isinya, berarti ada orang lain yang juga membaca buku itu. Dan siapa pun itu, orang tersebut punya niat yang jelas: membuat kasus kematian Anisa menjadi sorotan publik lagi.
Nadia menghela napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya. Bagaimanapun, ia harus tetap fokus pada tujuannya, yakni menemukan kebenaran tentang Anisa.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nadia membuka kembali halaman-halaman diary itu, melanjutkan cerita yang ditulis Anisa sebelum tragedi itu terjadi.
***
Kamera memutar mundur waktu kembali pada kisah yang diceritakan Anisa. Pagi yang cerah di kafe favorit Anisa dan Sri. Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, menimpa meja kayu yang penuh dengan noda cangkir kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi udara, menambah kehangatan suasana.
Sri dan Anisa duduk di tempat biasa mereka, tepat di sudut yang memungkinkan mereka memandang seluruh kafe sambil tetap mendapatkan sedikit privasi. Mereka baru saja menyelesaikan minggu yang melelahkan di rumah sakit, dan kafe ini menjadi pelarian mereka dari segala kepenatan dunia medis.
"Eh, lihat deh," Sri menunjuk ke arah pintu masuk. "Siapa yang baru datang."
Anisa mengikuti arah pandangan Sri. Seorang pria berpenampilan sederhana dengan jaket kulit dan kacamata hitam baru saja masuk. Ia berjalan menuju salah satu meja di sudut kafe, duduk sendirian tanpa banyak bicara.
"Dia sering terlihat di sini, ya?" tanya Anisa sambil mengangkat alis.
"Iya," jawab Sri sambil menyeruput kopinya.
"Aku perhatikan dia datang hampir setiap hari. Gimana kalau kita ajak dia bergabung? Kayaknya dia nggak banyak bicara, tapi siapa tahu bisa jadi teman ngobrol baru."
Tanpa menunggu jawaban dari Anisa, Sri berdiri dan menghampiri pria tersebut.