Nadia duduk di ruang istirahat rumah sakit yang tenang, jendela besar di sampingnya memancarkan cahaya matahari pagi yang lembut. Angin sepoi-sepoi masuk melalui celah kecil, memberikan sedikit kesejukan di tengah kesibukan rumah sakit.
Nadia membuka diary Anisa, menyentuh halaman-halaman kertas yang sudah mulai menguning.
Pikiran Nadia berkecamuk, “Andai saja aku ditugaskan di rumah sakit yang sama dengan Anisa, mungkin aku bisa mencegah semua ini.”
Sejenak, Nadia menoleh ke arah jam dinding yang terus berdetak. Tugasnya di rumah sakit ini kadang terasa begitu melelahkan, namun istirahat sebentar dengan membaca diary sahabatnya seolah memberikan ketenangan.
Wajahnya yang tadinya tenang mulai berubah serius saat dia membaca lebih dalam. Semakin dalam Nadia tenggelam dalam cerita, semakin terasa beban berat di hatinya.
Kilas balik menarik Nadia ke masa lalu, ke pagi yang cerah di sebuah kafe yang cukup sepi.
Anisa duduk sendirian di meja di pojok ruangan. Pandangannya kosong, menatap secangkir kopi yang belum disentuhnya. Dia mendengarkan obrolan di meja lain tanpa niat untuk terlibat.
Sri duduk di seberangnya, tertawa lepas bersama dr. Surya, seorang pria beristri yang baru dikenal Anisa.
“Aku sudah punya keluarga, Sri. Kita harus hati-hati,” kata dr. Surya sambil menyesap kopinya, senyumnya kaku.
Sri hanya tertawa kecil, seolah tak memedulikan peringatan itu.
“Kalau saja aku bertemu denganmu lebih awal, mungkin hidupku akan lebih bahagia,” jawabnya dengan nada menggoda.
Anisa hanya bisa mengamati dari jauh, merasa risih dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Sri yang dulu dikenal Anisa sebagai sahabat yang ceria dan perhatian kini berubah menjadi seseorang yang asing, terlalu berani dan sembrono. Hal ini setelah dia putus dari David dan menuduh Anisa merebutnya dari Sri.
Dari kilas balik itu, cerita mengalir ke sore hari di kamar kos Anisa yang sederhana namun rapi.
Anisa dan Sri duduk di ruang tamu, percakapan mereka terputus-putus di antara suara kendaraan yang lewat di luar.
“Anisa, tolong aku. Ini untuk orangtuaku. Aku benar-benar butuh bantuanmu,” Sri memegang tangan Anisa, suaranya lembut namun penuh permohonan.
Anisa menatap Sri dengan ragu, hatinya bimbang. “Sri, kau yakin ini untuk kebaikan? Pinjaman online itu berbahaya.”
Sri menunduk, menghindari tatapan Anisa. “Aku tahu, tapi ini darurat. Aku janji akan membayarnya tepat waktu.”
Dengan berat hati, Anisa mengangguk. “Baiklah, Sri. Tapi kau harus benar-benar melunasinya. Jangan sampai ini menjadi beban untukku.”
Sri tersenyum lemah, meyakinkan Anisa dengan janji yang entah bisa ditepati atau tidak.