Pagi itu, Nadia duduk di sudut kamarnya, ditemani secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Ponselnya tergeletak di meja kecil di depannya, dan notifikasi yang terus-menerus berdatangan membuat hatinya semakin gelisah. Ia membuka layar ponselnya dan langsung disambut dengan rentetan berita yang sedang hangat dibicarakan: klarifikasi Sri yang viral.
“Lihat ini,” gumam Nadia pada dirinya sendiri, jari-jarinya dengan cepat menggulirkan layar, membaca satu per satu judul berita yang terpampang jelas di berbagai portal online.
“'Sri Ungkap Fakta Hubungannya dengan Anisa: Teman Sejawat atau Penggoda?'” Nadia membaca salah satu judul dengan suara lirih, matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Di artikel lain, judulnya lebih bombastis lagi: “Sri Klarifikasi! Anisa Hanya Teman Kampus, Bukan Sahabat Dekat!”
Nadia meneguk kopinya yang kini sudah dingin, kepalanya penuh dengan pertanyaan. “Bagaimana mungkin? Anisa selalu menulis di diary-nya bahwa mereka sering nongkrong bareng di kafe. Kenapa sekarang Sri berkata lain?” pikirnya dengan penuh kebingungan.
Nadia mengingat kembali isi diary Anisa yang pernah dibacanya, tulisan tangan Anisa yang rapi dan penuh dengan cerita tentang hari-hari yang dihabiskan bersama Sri di kafe favorit mereka. Anisa selalu menceritakan betapa nyamannya dia berbicara dengan Sri, bagaimana mereka bisa mengobrol berjam-jam tentang apa saja, mulai dari kuliah, hobi, hingga impian masa depan.
Namun, video klarifikasi Sri justru mengatakan sebaliknya. Sri mengaku hanya mengenal Anisa sebatas teman satu kampus dan tidak pernah merasa dekat dengannya. Sri bahkan menyebut bahwa jika ada tulisan di diary yang menyebut mereka sering ke kafe, itu mungkin hanya kebetulan semata.
"Apa benar ini semua? Atau ada sesuatu yang disembunyikan?" Nadia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tidak menemukan jawabannya. Perasaan tidak enak mulai merayap di hatinya.
***
Nadia kembali ke layar ponselnya, kini membuka Instagram dan Twitter. Feed-nya penuh dengan unggahan tentang video Sri. Semua orang membicarakannya. Beberapa akun gosip besar telah mengunggah ulang video Sri, dan kolom komentar dipenuhi dengan beragam pendapat.
"@SriOfficial benar banget, masa udah meninggal masih aja disebut-sebut," tulis seorang pengguna Instagram.
"Eh, tapi kalo emang dia nggak deket sama Anisa, kenapa ada di diary? Curiga gue!" komentar pengguna lainnya.
Nadia menelusuri komentar demi komentar, hatinya bercampur aduk antara kesal dan sedih. Ada yang membela Sri, ada yang mengutuk, dan ada pula yang berusaha netral dengan menganalisis situasi dari berbagai sudut pandang.
“Kenapa orang-orang begitu mudah menilai hanya dari satu video?” gumam Nadia, sambil menekan tombol ‘like’ pada komentar yang membela Anisa.
Tiba-tiba, sebuah komentar menarik perhatian Nadia. “Akun @hiddeneyes ini malah bikin kacau deh, kalau nggak diposting diary-nya mungkin semua nggak akan seheboh ini.”
Komentar tersebut mendapat ratusan like dan komentar balasan, sebagian besar setuju dan mendesak agar polisi segera menindak akun tersebut. Bahkan, beberapa pengguna Twitter mulai menyerukan boikot jika @hiddeneyes tidak segera menghentikan unggahan tentang kasus ini.
Nadia tertegun. Benar, akun @hiddeneyes-lah yang memulai semua ini dengan memposting cuplikan diary Anisa. Tapi, di satu sisi, Nadia merasa berterima kasih karena berkat akun tersebut, ia bisa tahu lebih banyak tentang Anisa—tentang sahabat yang kini hanya bisa ia kenang.
Ketika Nadia sedang tenggelam dalam pikirannya, sebuah notifikasi berita muncul di layar ponselnya. Judulnya segera menarik perhatian: “Polisi Mulai Selidiki Akun @HiddenEyes yang Picu Kegaduhan di Media Sosial.”
Nadia membuka berita itu dengan cepat. Di dalamnya tertulis bahwa pihak kepolisian telah mengidentifikasi beberapa akun yang diduga terlibat dalam penyebaran informasi yang tidak terverifikasi mengenai kasus Anisa dan Sri. Akun @hiddeneyes menjadi target utama penyelidikan karena dianggap telah memicu kegaduhan dengan memposting potongan diary Anisa yang sensitif.
“Jadi, akhirnya polisi turun tangan,” bisik Nadia, merasa sedikit lega tetapi juga cemas. Ia khawatir jika penyelidikan ini tidak hanya akan mengungkap identitas di balik akun @hiddeneyes, tetapi juga membuka lebih banyak hal yang mungkin lebih baik tetap tersembunyi.
Namun, Nadia juga tahu bahwa kebenaran perlu diungkapkan, apa pun risikonya. Jika tidak, Anisa akan terus menjadi korban dalam opini publik, sesuatu yang Nadia tidak bisa biarkan terjadi.
***
Di tempat lain, David duduk di apartemennya yang sunyi. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa, tetapi pikirannya tidak bisa lepas dari video Sri yang baru saja dia tonton. Di layar laptopnya, video itu masih terbuka, meskipun David sudah menontonnya berkali-kali.
David menutup laptopnya perlahan, lalu melemparkan dirinya ke sofa, menatap langit-langit apartemennya yang kosong. Wajahnya menampilkan ekspresi campuran antara penyesalan dan kebingungan.
“Kenapa kamu bilang begitu, Sri?” David bergumam, mengingat kembali masa-masa ketika mereka bertiga masih akrab—Anisa, Sri, dan dirinya. Mereka sering nongkrong di kafe, tertawa bersama, berbagi cerita. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, digantikan oleh kenyataan pahit yang terpecah belah oleh kesalahpahaman dan ego.