Di dalam ruangan yang gelap, sebuah cahaya kuning redup dari lampu meja menerangi sudut kecil ruangan. Di atas meja kayu tua yang penuh goresan, sebuah buku tebal dengan sampul kulit cokelat tergeletak, terbuka pada halaman pertengahan. Tangan pria misterius itu bergerak pelan, menyentuh kertas yang sudah mulai menguning di tepinya. Buku diary itu—diary milik Anisa—sudah bersamanya selama beberapa hari.
Dia membaca setiap kata dengan hati-hati, seperti mencoba meresapi emosi yang tertulis dalam goresan tangan Anisa. Dia bisa merasakan kesedihan, beban yang tak terlihat, dan rasa frustasi yang membara dari tulisan-tulisan itu. Pria itu menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Anisa...” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
Ruang itu terasa semakin sunyi, hanya suara ketukan keyboard komputer yang mengisi kesunyian. Di layar laptop yang terletak di meja, tampak terbuka sebuah akun media sosial dengan username @HiddenEyes. Dia sudah siap untuk mengungkapkan sesuatu. Dia sudah siap untuk membagikan kebenaran yang tak pernah diketahui orang lain—kebenaran yang terkubur bersama Anisa.
Ruangan itu kecil dan nyaris kosong, kecuali meja dan kursi yang digunakan pria misterius itu. Tak ada jendela di ruangan ini, hanya dinding polos berwarna abu-abu kusam yang terlihat kotor oleh noda-noda gelap. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam yang lusuh. Jaket itu tampak seperti pakaian yang sudah lama dipakai, mungkin sebagai bagian dari identitas yang ia jaga dengan ketat.
Tangannya yang kokoh dan sedikit berotot membuka halaman lain dari buku diary tersebut. Halaman itu penuh dengan coretan tangan Anisa, yang menunjukkan perasaan tertekan dan terbebani oleh tanggung jawabnya sebagai dokter muda.
Dia membaca pelan-pelan, mencoba memahami isi tulisan itu. Tulisan tangan Anisa kadang rapi, kadang berantakan, mencerminkan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Dalam beberapa bagian, pria itu bisa merasakan ketidakberdayaan Anisa di hadapan masalah yang tampaknya lebih besar dari dirinya sendiri.
“Dia tak seharusnya mati seperti itu,” gumam pria itu, menggertakkan giginya dengan marah. “Mereka pikir ini hanya kasus bunuh diri biasa... tapi aku tahu ada yang lebih dari ini.”
Pria misterius menunduk, memperhatikan setiap baris tulisan di halaman yang terbuka di depannya. Ini bukan sekadar catatan harian biasa—ini adalah bukti dari seseorang yang tengah berjuang dengan sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar stres pekerjaan. Pria itu menggelengkan kepalanya, seakan tak percaya dengan apa yang dia baca.
Anisa menulis tentang hari-harinya yang panjang di rumah sakit. Tentang pasien-pasien yang harus dia tangani, tentang malam-malam tanpa tidur yang dihabiskannya di ruang operasi, tentang dokter senior yang kerap memperlakukannya dengan dingin. Di antara baris-baris itu, ada rasa frustrasi yang membara, rasa putus asa yang mulai menggerogoti jiwanya.
Pria itu menarik napas dalam-dalam.
“Mereka seharusnya melihat tanda-tanda ini. Bagaimana mungkin mereka bisa mengabaikannya?”