Nadia tiba lebih dulu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Kafe itu sudah beberapa kali mereka jadikan tempat pertemuan. Tempat yang nyaman, dengan suasana tenang, aroma kopi yang hangat, dan cahaya lampu redup yang membuat percakapan lebih intim. Nadia memilih duduk di sudut ruangan, jauh dari keramaian, agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
Matanya sesekali melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Farhan. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang isi diary Anisa yang baru saja dibacanya. Mengapa Anisa menulis cerita tentang Farhan di diarynya? Kenapa diary Anisa bisa sampai ke Farhan? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kenapa Farhan tidak pernah mengatakan apapun tentang diary itu?
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka. Farhan masuk dengan langkah cepat, mengenakan jaket kulit hitam yang sudah usang. Dia terlihat lelah, tapi tetap tenang. Setelah menemukan Nadia di sudut ruangan, Farhan tersenyum tipis dan segera menghampirinya.
"Maaf, aku sedikit terlambat," kata Farhan sambil menarik kursi di depan Nadia. "Tadi jalanan macet."
"Tidak apa-apa," jawab Nadia. Suaranya terdengar santai, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan yang mendesak. Dia memutuskan untuk tidak membuang waktu dan langsung menuju inti pembicaraan. "Farhan, aku sudah membaca bagian tentangmu di diary Anisa."
Farhan menatap Nadia dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sudah menduga kau akan sampai ke bagian itu. Kau pasti punya banyak pertanyaan sekarang."
Nadia mengangguk, mencoba menahan rasa kecewanya. "Kenapa kau tidak pernah cerita dari awal? Kau tahu ini penting buatku."
"Aku tahu, Nadia," jawab Farhan pelan. Ada kesedihan yang tersirat di suaranya. "Tapi aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku mendapat diary itu tiga hari setelah Anisa ditemukan tewas."
Nadia terdiam. Informasi itu mengejutkannya. "Tiga hari setelah Anisa meninggal? Bagaimana kau bisa mendapatkannya?"
"Diary itu dikirimkan padaku," kata Farhan sambil merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "Lewat kurir anonim. Saat aku membuka paketnya, aku menemukan diary Anisa di dalamnya. Waktu itu, aku tidak tahu harus berbuat apa."
Nadia merasakan jantungnya berdebar. "Kenapa kau tidak cerita dari awal? Kenapa kau menyimpannya sendiri?"
Farhan menatapnya dengan serius. "Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Setiap halaman diary itu adalah beban berat bagiku. Dan saat aku membaca bagian yang menyebutkan namamu, aku tahu kau harus tahu. Tapi aku tidak ingin mengagetkanmu."
"Aku bukan anak kecil, Farhan," kata Nadia, suaranya mulai terdengar marah. "Kau seharusnya bisa memberitahuku sejak awal. Tapi kau menahannya sampai sekarang."