Diary Kelabu Dokter Muda

Jiebon Swadjiwa
Chapter #28

Bab 28: Sadar Diri Sendiri

Nadia melangkah masuk ke rumah kostnya dengan langkah pelan, seolah-olah ruang di dalamnya bisa mengerti kebimbangannya. Suasana tenang yang biasanya ia sukai kini justru terasa menekan. Setelah pertemuannya dengan Farhan, kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Farhan, dengan sikapnya yang tenang dan penuh teka-teki, telah memberikan Nadia sebuah halaman sobek dari diary Anisa yang dulu hilang. 

Nadia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Dia mengeluarkan lembaran tersebut dari tasnya, menatapnya dengan campuran perasaan takut dan penasaran. Selama ini, dia berpikir bahwa dia sudah tahu semua tentang Anisa, sahabat terbaiknya. Tapi halaman ini mungkin akan mengubah segalanya.

Dia membuka halaman itu dengan hati-hati. Tangan Anisa yang menulisnya, dan Nadia bisa merasakan beban di balik setiap kalimat yang tertera di sana.

Nadia menarik napas panjang dan mulai membaca. Tulisan tangan Anisa masih sama, rapi dan indah, namun kali ini terasa lebih berat, seolah-olah setiap kata membawa beban emosional yang mendalam.

"Nadia selalu sibuk," tulis Anisa di awal paragraf. 

"Dia punya hidupnya sendiri, tugasnya sendiri di rumah sakit. Aku tahu dia peduli padaku, tapi ada kalanya aku merasa sendirian. Aku ingin bicara padanya, ingin dia ada di sisiku, tapi dia selalu jauh. Mungkin aku yang terlalu bergantung padanya. Aku tidak tahu lagi."

Nadia merasa tenggorokannya mengering. Dia tidak pernah menyangka Anisa merasakan hal seperti ini. Selama ini, dia berpikir bahwa mereka berdua saling mendukung, saling mengerti. Namun ternyata, di balik senyuman dan tawa Anisa, ada kesepian yang tidak pernah dia lihat.

"Ketika aku memutuskan untuk... pergi," lanjut Anisa di paragraf berikutnya, "aku berharap Nadia akan menghentikanku. Tapi dia tidak tahu. Dia sibuk dengan hidupnya sendiri, dan aku... aku terlalu takut untuk mengganggunya. Aku tahu ini salah, tapi pada saat itu, aku merasa tidak ada jalan lain."

Air mata mulai mengalir di pipi Nadia. Hatinya terasa seperti dihancurkan perlahan. Bagaimana bisa dia tidak menyadari? Bagaimana bisa dia tidak melihat tanda-tanda bahwa Anisa sedang dalam kesulitan? Dia seharusnya ada di sana untuk sahabatnya, tapi ternyata dia terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri.

"Tapi aku tidak menyalahkannya," tulis Anisa di akhir halaman. "Aku tahu dia berusaha. Aku tahu dia peduli. Mungkin semua ini memang salahku. Mungkin aku yang tidak cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Aku hanya berharap dia tahu bahwa aku menyayanginya, meskipun aku tidak selalu bisa mengatakannya."

Nadia menutup halaman itu dengan tangan gemetar. Dia merasa hancur. Semua ini terasa begitu salah. Bagaimana mungkin dia tidak pernah tahu bahwa Anisa merasakan semua ini? Bagaimana mungkin dia tidak pernah benar-benar mendengarkan sahabatnya?

***

Lihat selengkapnya