Di sebuah ruangan yang terang hanya oleh cahaya dari layar komputer, sosok di balik akun @HiddenEyes duduk dengan penuh kepuasan. Ruangan tersebut terlihat berantakan, dengan berbagai kertas dan dokumen berserakan di sekitar meja. Layar monitor menampilkan beragam notifikasi, menandakan betapa populernya unggahan terbaru mereka.
“Lihat ini,” ucap sosok itu dengan senyum lebar sambil memeriksa komentar dan share dari unggahan terbarunya. “Ternyata, semua yang aku lakukan mendapatkan perhatian yang sangat besar.”
Di layar, headline berita terbaru muncul, menyoroti betapa geger dunia maya akibat postingan tentang Umay. Judul-judul seperti "Umay Dikecam: #BoikotUmay Meledak di Media Sosial" dan "Akun @HiddenEyes Bongkar Aib Umay" memenuhi halaman berita online. Sosok itu memeriksa setiap artikel dengan penuh kepuasan.
“Wah, tampaknya ini benar-benar meledak,” gumamnya sambil mengetik cepat di keyboard. “Kalau begini, aku harus membuat mereka merasakan semua akibat dari tindakan mereka. Ini baru permulaan.”
***
Umay menatap layar laptopnya dengan perasaan kacau. Jumlah subscribers di akun YouTube-nya berkurang dengan sangat cepat. Semakin lama, semakin banyak orang yang meninggalkan akun tersebut. Notifikasi di ponselnya berdentang tanpa henti—setiap kali dia membuka pesan, hampir semuanya adalah komentar kebencian dari netizen.
"Ini nggak mungkin terjadi," gumam Umay dengan suara gemetar. Ia menekan tombol refresh di layar laptopnya, berharap ada keajaiban yang membuat jumlah subscribers kembali meningkat. Namun, kenyataan justru semakin pahit. Setiap kali layar di-refresh, angka subscribers yang tersisa semakin merosot.
Dengan tangan gemetar, Umay mencoba menghubungi manajernya, tetapi panggilannya tidak pernah tersambung. Dia mengirim pesan, tetapi tidak ada balasan. "Di mana dia saat aku butuh bantuan?" Umay merutuk dalam hati. Wajahnya mulai memucat. Ini adalah pukulan terbesar yang pernah dia alami sejak memulai kariernya di dunia YouTube.
Hashtag #BoikotUmay terus meroket di berbagai platform media sosial. Trending nomor satu, bukan hanya di Twitter, tapi juga di Instagram dan TikTok. Berita tentang dirinya menyebar lebih cepat daripada api yang menyambar bensin. Setiap detik, semakin banyak orang yang bergabung dengan gerakan boikot ini, mengecam tindakan Umay yang dianggap melanggar privasi Anisa dengan mengunggah percakapan pribadi itu tanpa izin.
Umay merasakan tubuhnya mulai lemas. Dia menutup laptopnya dengan kasar, berharap bisa menenangkan pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya terdengar putus asa. Dia tahu apa yang terjadi adalah akibat dari tindakannya, tetapi tidak pernah membayangkan akan mendapat reaksi sekeras ini.
Ponselnya kembali berdentang, notifikasi masuk tak henti-hentinya. Komentar-komentar penuh kebencian terus membanjiri akun media sosialnya. Bahkan beberapa teman dan kolega yang biasanya mendukungnya, kini memilih diam, seolah-olah mereka juga sedang menghindari badai yang sedang menimpa Umay.
***