Nadia berdiri di depan pintu belakang rumah sakit Nusa Medika, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Malam sudah larut, suasana sunyi, hanya ada suara samar dari jarak jauh — mungkin kendaraan yang melintas atau hembusan angin di antara gedung-gedung tinggi. Farhan berdiri di sebelahnya, mengenakan seragam rumah sakit yang mereka dapatkan dari seorang kenalan. Seragam ini mungkin tidak resmi, tetapi cukup meyakinkan.
"Siap?" tanya Farhan, suaranya pelan namun tegas.
Nadia mengangguk meskipun tangannya sedikit gemetar. Mereka sudah sampai sejauh ini dan tidak ada jalan kembali. “Siap. Kita harus cepat, sebelum ada yang menyadari kehadiran kita.”
Dengan hati-hati, Farhan membuka pintu belakang rumah sakit. Lorong di balik pintu tersebut adalah lorong yang biasa digunakan oleh staf teknis. Lampu-lampu neon berkilau redup, memberikan pencahayaan yang cukup untuk melihat jalan, tetapi tidak terlalu terang sehingga membuat suasana menjadi lebih menegangkan.
Mereka melangkah masuk dengan langkah pelan. Setiap langkah terdengar nyaring di telinga Nadia, meski kenyataannya hanya bergema lembut di lorong yang sepi.
"Aku terlalu penat dengan bau rumah sakit," bisik Nadia tiba-tiba, mencoba meredakan ketegangan dengan kata-kata.
Farhan tersenyum kecil, meski matanya tetap fokus ke depan. "Mungkin bukan tempat yang paling menyenangkan, terutama kalau kamu menyelinap di dalamnya."
Mereka berdua tertawa kecil, meskipun suasana tetap dipenuhi kecemasan. Tujuan mereka malam itu tidak sekadar menyelinap, tapi juga menggali rahasia yang mungkin sangat berbahaya. Mereka tahu bahwa petunjuk dalam diary Anisa bisa membawa mereka pada jawaban, tetapi juga mungkin menghadapkan mereka pada risiko yang belum bisa mereka bayangkan.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di lobi kecil yang terhubung ke koridor utama rumah sakit. Dari sini, mereka harus melewati lantai 1 yang cukup ramai sebelum menuju lantai yang lebih sepi.
“Kita harus kelihatan sibuk, seperti staf lain,” bisik Farhan, sambil memperhatikan sekeliling. Beberapa perawat dan dokter tampak berlalu-lalang, sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka tampak tidak peduli dengan dua orang yang mengenakan seragam dan berjalan santai melewati lobi.
Nadia menahan napas ketika mereka berjalan melewati meja resepsionis, berharap tidak ada yang akan memperhatikan mereka terlalu lama. Seorang penjaga keamanan berdiri tak jauh dari pintu masuk utama, tetapi sepertinya lebih sibuk memeriksa layar CCTV di depannya daripada mengamati orang-orang yang lewat.
"Jangan menatap penjaga," Farhan mengingatkan, suaranya hampir tak terdengar.
Nadia mengangguk pelan. Dia mencoba mengalihkan perhatian, melihat ke arah papan penunjuk arah di dinding, berpura-pura mencari sesuatu. Mereka terus berjalan, bergerak dengan keyakinan yang dipaksakan, meskipun dalam hati Nadia merasa setiap langkahnya seperti menarik lebih banyak perhatian.
Setelah melewati area yang ramai, mereka sampai di tangga menuju lantai tiga. Farhan berhenti sejenak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti. Tak ada yang mencurigakan.
"Baiklah, sekarang bagian tersulit," kata Farhan dengan suara tenang, "Lantai tiga lebih sepi, tapi juga lebih dijaga. Kita harus ekstra hati-hati."
Nadia hanya bisa mengangguk. Mereka naik tangga dengan pelan, memastikan setiap langkah mereka tak menimbulkan suara. Di lantai tiga, suasana memang jauh berbeda. Hanya ada beberapa perawat dan dokter yang sesekali lewat, dan Nadia bisa merasakan suasana lebih tegang di sini. Penjaga keamanan yang ditempatkan di lantai ini tampak lebih waspada, berjalan berkeliling koridor dengan pandangan yang tajam.