Lorong rumah sakit Nusa Media terasa dingin dan sunyi malam itu. Lampu-lampu neon yang menggantung di atas kepala dokter Aditya berkedip samar, menciptakan bayangan panjang di lantai keramik putih yang terawat dengan baik. Dr. Aditya melangkah dengan langkah tergesa-gesa, menelusuri jalur yang ia kenal dengan baik. Namun, malam ini, ada perasaan yang berbeda menyelimuti setiap gerakannya. Kegelisahan merambat di setiap sudut rumah sakit, terutama di lantai yang telah ia tandai sebagai "zona merah." Itu adalah area yang hanya boleh diakses oleh orang-orang tertentu.
Dr. Aditya berhenti di depan pintu kamar mayat. Matanya terpaku pada pintu yang seolah menyimpan rahasia kelam di baliknya. Tangannya terulur, bersiap untuk memutar kenop pintu. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh logam dingin itu, ponselnya bergetar di saku jas putihnya.
Ia mengambil ponselnya dengan cepat, memeriksa layar. Nama di layar membuat dahinya berkerut. Itu adalah salah satu rekan kerjanya, tapi bukan seseorang yang biasa menelepon di jam-jam seperti ini. Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran merayap ke dalam pikirannya. Ia menggeser layar dan menjawab telepon itu.
"Halo?" suaranya terdengar rendah dan tenang, meskipun jantungnya berdetak cepat.
Suara di ujung telepon terdengar cemas. "Dok, ada masalah besar."
Aditya mengerutkan kening. "Masalah apa?"
"Akun @HiddenEyes baru saja mengunggah sesuatu. Kali ini lebih buruk dari sebelumnya."
Aditya berdiri kaku di tempatnya, telepon masih menempel di telinga. “Apa yang mereka unggah?”
“Bagian dari diary Anisa. Tentang... kamu, Fitri, dan rumah sakit ini.”
Pikiran Aditya seolah terhenti sesaat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, meskipun lorong tempat ia berdiri dingin. “Ini tidak mungkin,” gumamnya pelan.
“Tapi itu kenyataan, Dok. Mereka menuduhmu memperkosa Fitri saat dia sedang tidur di rumah sakit.”
Tangan dokter Aditya gemetar, hampir menjatuhkan ponselnya. Napasnya tersengal, dan seketika ia merasa seluruh dunia berputar. Fitri... kejadian itu... semua yang ia kira telah terkubur dalam-dalam kini kembali menghantuinya. Dan yang lebih parah lagi, kini informasi itu ada di tangan publik, tersebar ke seluruh dunia melalui akun anonim yang tampaknya tahu terlalu banyak.
"Berapa banyak orang yang sudah melihat ini?" tanya Aditya, suaranya lebih pelan sekarang, hampir tidak terdengar.
"Ini sudah jadi viral, Dok. Berita ini menyebar cepat. Kita harus bertindak sebelum ini menghancurkan semuanya."
Aditya memutuskan panggilan telepon dengan cepat, jantungnya berdetak kencang. Dia berdiri sejenak di depan pintu ruang mayat, mencoba menenangkan diri. Tidak ada waktu untuk panik. Dia harus bertindak cepat.