Diary Kelabu Dokter Muda

Jiebon Swadjiwa
Chapter #41

Epilog

Suara ketikan jari di atas keyboard memenuhi ruangan kantor berita yang ramai. Farhan duduk di mejanya, matanya tertuju pada layar komputer yang menampilkan berita terbaru. Judul-judul besar terpampang di layar: "Kasus Dokter David: Divonis UU ITE, Akun @HiddenEyes Menghilang". Berita tentang dua dokter yang terlibat dalam kematian Anisa masih menjadi perbincangan, meskipun kini tak lagi seheboh sebelumnya. Media sosial mulai mereda, tak lagi dipenuhi dengan teori konspirasi dan spekulasi liar.

Rani, rekan kerja Farhan, berhenti di samping meja Farhan, menyerahkan secangkir kopi. 

“Kamu masih terus mengikuti kasus ini?” tanya Rani, menatap layar komputer Farhan dengan alis terangkat.

Farhan mengambil cangkir itu dan menghela napas panjang. "Aku tahu ini belum berakhir, Rani. Ada sesuatu yang besar yang kita lewatkan," jawab Farhan sambil menggulir berita di layar.

“Sudah sebulan, Farhan. Akun @HiddenEyes sudah dua minggu menghilang, dan polisi pun tidak berhasil melacaknya. Mungkin memang sudah selesai."

Farhan menoleh, matanya menyiratkan keyakinan yang dalam. “Tidak. Ada tangan yang lebih besar di balik semua ini. Kita hanya melihat puncak gunung es.”

Rani terdiam sejenak, kemudian mengangguk ringan. "Yah, kalau kamu merasa masih ada yang perlu diungkap, aku mendukungmu. Tapi hati-hati, Farhan. Ini bisa jadi sangat berbahaya."

Farhan tersenyum samar, meski di dalam hatinya dia tahu, rasa penasaran yang terus mengusiknya bisa saja membawanya ke jalan yang tak dia duga.

Di sisi lain kota, di sebuah rumah sakit, Nadia kembali sibuk dengan rutinitasnya sebagai dokter spesialis anak. Di ruang konsultasi, dia tengah memeriksa seorang anak kecil yang tampak pucat.

“Bagaimana tidurnya, Bu?” tanya Nadia kepada ibu sang anak dengan nada lembut namun profesional. Dia berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, meski bayang-bayang kasus kematian Anisa dan hilangnya Fitri masih menghantui pikirannya.

“Agak susah tidur, Dok. Tapi dia sudah mulai makan lebih baik,” jawab ibu si anak, menatap Nadia dengan harapan.

Nadia tersenyum. "Itu tanda yang baik. Pastikan dia banyak minum air putih dan cukup istirahat. Kalau ada keluhan lain, jangan ragu untuk datang lagi."

Ibu itu mengangguk dengan rasa terima kasih, kemudian membawa anaknya keluar. Saat pintu menutup, Nadia menunduk, menghela napas panjang. Sejenak, pikirannya melayang kepada Anisa. Sahabatnya itu tewas dalam kondisi misterius, dan sekarang, Fitri juga menghilang tanpa jejak.

Dia menatap kosong ke dinding ruang konsultasi. "Anisa, aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku janji."

Kembali ke kantor berita, Farhan berusaha kembali fokus pada pekerjaannya. Dia duduk di mejanya, dikelilingi tumpukan catatan dan berkas-berkas. Tapi matanya sering kali tertuju pada notifikasi email dan pesan pribadinya, berharap ada petunjuk baru mengenai kasus Anisa atau @HiddenEyes. Namun, sejauh ini semuanya masih diam, seakan semua petunjuk terhenti.

Seorang rekan kerja datang mendekat, menaruh beberapa berkas di meja Farhan. "Farhan, kamu masih menggali soal kasus ini?"

Farhan menatap berkas itu sejenak, lalu menatap rekannya. "Aku harus. Ada sesuatu yang belum kita temukan."

"Orang-orang mulai lupa. Mungkin sudah saatnya kita juga bergerak ke topik lain."

Lihat selengkapnya