Dadaku rasanya seperti terbakar saat mendengarkan kabar buruk mengenai kesehatan anakku yang kian menurun ditambah lagi pagi ini ia sempat mengalami kejang-kejang parah, tentunya sebagai seorang ayah aku langsung beranjak meninggalkan pekerjaan dikantorku yang baru tempat aku dipindahkan baru-baru ini.
Aku langsung berlari keruangan manager dan meminta ijin padanya untuk pulang lebih awal hari ini.
"Pak, saya mau ijin pulang lebih awal, soalnya rumah sakit bilang kalau kondisi kesehatanĀ anak saya menurun" aku berlariĀ tergesa-gesa kearahnya, ia menatapku dengan sedikit kebingungan sembari mengisyaratkanku untuk duduk sejenak.
"Duduk lah dulu,pak!" Perintahnya, aku hanya mengangguk saja dengan wajah penuh harapan.
"Aku tahu bapak sangat khawatir, cuman bapak kan tahu sendiri kalau ini adalah hari pertama anda bekerja disini semenjak anda dipindahkan dari Kalimantan jadi maaf sebesar-besarnya kepada anda karena saya menolak memberikan izin untuk pulang lebih awal"
"Tapi anak saya sangat membutuhkan saya,pak" bantahku.
"Saya paham pak, hanya saja dengan berat hati saya tidak bisa memberikan izin dan apabila bapak membantah maka bapak bisa kena sanksi atau bisa juga dipecat karena tidak disiplin"
"Dengar ya pak, saya gak peduli apapun sanksinya atau bahkan dipecat sekalipun karena anak saya lebih utama dari segalanya" aku berjalan pergi meninggalkan ruangan ini, akan tetapi langkah kaki ku terhenti saat ia memintaku berhenti.
"Cobalah anda berpikir realistis, kalau anda sampai dipecat hari ini lalu bagaimana caranya anda bisa membayar rumah sakit dan biaya kesehatan milik anak anda? Zaman sekarang cinta gak bisa membeli kebutuhan sehari-hari pak, harusnya kalau anda sayang sama keluarga anda maka anda harus berjuang menghidupkan keluarga anda" ia berjalan menghampiriku.
"Anak anda itu memang membutuhkan anda tetapi walau bagaimanapun anda juga harus meluangkan waktu untuk bekerja deminya juga kan?"
"Kau benar, maafkan aku" ucapku, ia hanya menepuk santai bahuku sembari tersenyum bijak.
"Maafkan aku, aku hanya mengikuti prosedur perusahaan tetapi aku turut iba atas anak bapak"
"Iya, aku lebih baik kembali bekerja sekarang" ucapku, lalu beranjak pergi dari sana dengan tekad yang kini bimbang sebab dilain sisi aku juga takkan sanggup membayar rumah sakit bila tidak bekerja karena realitanya dunia ini memnag seperti itu, uang adalah kebutuhan setiap insan untuk membiayai kehidupannya dan cinta hanya sebagian kecil komponen yang memang ada didalam diri seseorang.
Dibalik layar komputer, aku kembali mengerjakan semua pekerjaaanku yang tadi sempat tertinggal dengan terburu-buru hingga menimbulkan bunyi ketikan keyboard yang bisa dikatakan cukup mengganggu teman sebelahku.
"Pak, tolong jangan berisik dong soalnya saya juga lagi bekerja" Tegurnya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan saja dengan senyuman tipis yang diperlihatkan padanya.
"Aku tak tahu masalah anda tetapi cobalah sedikit rileks dan banyak berdoa, setidaknya anda berusaha untuk bersikap profesional ditempat kerja" sambungnya lagi dan beranjak duduk kembali dikursinya.
Sejenak aku berusaha untuk memaklumi perkataannya barusan yang membuatku tersadar kalau sikapku saat ini benar-benar tidak menunjukkan keprofesionalan dan lebih baik sekarang akau berusaha untuk tenang dalam bekerja, namun semakin lama aku acuh akan kondisi yang menimpa putraku saat ini malah dadaku menjadi tak karuan dan memutuskan untuk pergi ke toilet guna menenangkan diri.