Hari ini aku sengaja tidak menemani Qian dirumah sakit, demi bisa menghabiskan waktu untuk membaca seluruh isi diary Qian. Sampai akhirnya,aku menemukan fakta yang membuat hatiku hancur berkali-kali lipat hingga tak terasa air mata kembali mengalir sekali lagi diwajahku sembari kuseka air mata itu sambil memasukkan kembali buku diary miliknya ini kedalam tas ransel hitam kesayangannya.
Aku menatap hancur sekeliling kamarnya sembari memeluk tas ransel hitam itu sambil meratapi kenangan bersama Qian semasa kecil, mungkin kedengarannya lucu bila memikirkan mengapa aku hanya mengingat masa-masa bersama Qian sewaktu kecil saja, yang mana jika boleh jujur sebenarnya aku hanya mempunyai kenangan bersamanya sewaktu kecil saja. Sebab, setelah menikah lagi aku langsung memutuskan merantau jauh untuk mencari nafkah sehingga aku sama sekali tidak pernah mempunyai masa-masa indah bersama anakku sendiri.
Aku mulai sangat menyesal membiarkannya menjalani hidup yang keras seperti ini, seharusnya ia mendapati dukungan dan kasih sayang oleh orang tua nya bukannya mengalami tekanan seperti ini.
"Anakku yang malang, maafkan ayah!" ujarku didalam Isak tangis yang tak berpenghujung, bahkan saat Susi membuka pintu kamar Qian pastilaj melihatku seperti orang setengah waras karena saat ini diriku masih terlarut dalam kesedihan dan enggan menanggapinya. Hingga membuatnya kesal dan berjalan pergi dengan sebuah hentakkan keras dari pintu.
Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, kupikir rumah tanggaku juga semakin hancur dan pekerjaaanku mulai terbengkalai karena kesedihanku yang benar-benar takut kehilangan Qian. Akan tetapi, jika boleh jujur jauh didalam hatiku yang terdalam diriku mulai bertanya-tanya mengapa aku yang harus memiliki beban kesedihan seperti ini padahal mereka yang telah menyiksa putraku seakan keadilan benar-benar tidak berpihak padaku maupun putraku.
"Bangunlah! Kau masih bolos kerja lagi? ingat keluargamu masih ada yang harus kau tanggungjawabin sebagai Ayah sekaligus suami," bentak Susi yang kembali lagi kesini dengan amarah yang membara, tentu saja aku yang mendengarkan itu juga ikut naik darah dan memukul dinding kamar anakku.
"Kalau gitu kau juga harus menjalani tanggungjawabmu sebagai ibu! Lagian kau yang mengatakan bahwa Qian bukan anakmu maka begitu juga denganku kalau Anak dari bawahanmu bukan anakku jadi minta sana uang kuliah anakmu sama mantan suamimu itu!!!" Bentakku kasar, entah kenapa kali ini aku mengeluarkan semua kalimat yang membatin didalam diriku, aku sudah sangat muak dengan sikapnya yang selalu benar pantas saja ia bercerai dengan mantan suaminya.
"Apa kau bilang? Berani-beraninya kau berkata seperti itu, Dasar suami tak bertanggungjawab!"
"Ya sudah, lebih baik kita bercerai saja. "
"Kau gila ya? apa kata tetangga kalau aku bercerai dua kali dan harusnya kau menerima kenyataan untuk membiarkan anakmu mati saja jadi jangan menghabiskan uang hanya untuk biaya rumah sakitnya!"
"Aishh...kau memang bermilut kasar ya!!! Aku menyesal menikahimu dan kupikir alasan mantan suamimu hidup bahagia sekarang karena ia bersyukur mendapatkan istri baru yang lebih baik darimu, " teriakku lalu berjalan pergi meninggalkannya tanpa perduli akan tatapan tajamnya padaku.
Aku enggan bertengkar dengannya saat ini dan lebih baik aku pergi saja daripada kemarahanku semakin memuncak, bisa-bisa aku berlaku lebih kasar padanya, apalagi ia hanya seorang wanita jadi tak seharusnya aku memakinya terlalu kasar lebih jauh lagi.