"Ayah mulai paham nak, kau terlalu rapuh untuk menjalani kehidupan yang kejam ini, kini juga baru menyadari kalau selama ini memberikanmu kehidupan yang buruk dan tak pernah peka akan penderitaanmu, " ucapku sembari memegang erat tangan Qian yang dipasang selang infus dipergelangan tangannya.
"Kau depresi karena ibu tirimu yang selalu menghinamu hanya karena kau gagal masuk universitas ditambah lagi bodohnya aku sampai tak tahu kalau ia melarang ku ikut ujian sbmptn dan memintamu berbohong kalau kau gagal lalu kau juga harus menerima perlakuan tidak adil olehnya yang selalu menghinamu dan perlakuan tidak manusiawi teman-teman seangkatanmu, kau terlalu banyak menderita nak. "
Aku berusaha memahami semua penderitaanya yang sama sekali tidak dapat kubayangkan betapa menyedihkannya hidup putraku.
"Maafkan aku nak! Boleh aku tanyak sekali saja apakah kau merasa tertekan oleh permintaanku yang menyuruhmu tetap bertahan disini sampai saat ini? Apakah kau benar-benar ingin pergi? "
"Kalau aku menyuruhmu tetap bertahan, itu sama saja aku sangat egois untuk memaksamu bertahan dengan tekanan mental yang mulai membunuhmu perlahan, aku tahu kau tidak sengaja mengakhiri hidupmu, hanya saja depresimulah yang membuat anak malangku ini mengalami overdosis akibat tekanan yang seharusnya tidak kau alami diusia muda. " Aku terus menggenggam jemarinya yang benar-benar sangat kurindukan.
"Kau bisa memutuskannya nak, bila kau ingin memulai kembali kehidupan ini yang pastinya ayah janji akan selalu ada disampingmu maka kau bisa bangun sekarang namun bila kau terlalu terluka maka kau bisa pergi dengan tenang, ayah akan menerima semua keputusanmu meskipun pastinya sanagat berat bagi ayah membiarkan anak ayah satu-satunya pergi meninggalkan ayah. " Aku mencium keningnya, lalu menggenggam erat jemarinya dengan pecahan tangis yang tak terkendali sampai air mata itu jatuh dijemari tangan anakku.
Tak ada lagi kata yang bisa kuutarahkan selain Isak tangis yang tak kunjung reda, sampai akhirnya tuhan mendengarkan setiap rintihan permohonanku dan tanpa tak terduga jemari anakku mulai bergerak sampai membuatku tak percaya dan buru-buru berlari keluar memanggil dokter dan beberapa perawat.
Aku melihat para tenaga medis itu tengah memeriksa anakku dari kejauhan, saat ini aku hanya bisa menunggu mereka dibalik pintu.
Cukup lama aku berdiri sejenak diluar ruangan sampai para tenaga medis itu keluar dengan wajah yang sulit untuk kubaca.
"Anak saya?" tanyaku yang terlalu sulit melanjutkan kata-kata untuk menanyakan kondisi nya saat ini.