Hari ini adalah kesekian kalinya Qian mengikuti konsultasi dengan psikiater semenjak Qian diperbolehkan pulang kerumah yang baru saja ku beli untuk ditempati oleh kami berdua saja karena aku tak mau anakku makin terpuruk karena kehadiran susi dan anak bawahannya, ia memang sudah merasa lebih baik sekarang hanya saja ia masih enggan menemuiku dan berinteraksi dengan dunia luar sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktu didalam kamar dan setiap kali ia akan melakukan interaksi dengan Dokter psikiaternya maka dengan ringan hati Dokter ilham yang mendatangi rumah kami bila ada jadwal konsultasi disalah satu psikiater sewasta.
Sama halnya seperti hari ini aku tengah menunggu akhir dari konsultasi mereka didepan teras rumah, sampai langkah kaki dokter tersebut dan suara bunyi pintu yang kembali ditutup keras langsung membuatku bangkit dari kursi dan menoleh kedalam rumah.
"Bagaimana dok? " tanyaku, dokter ilham hanya menepuk pelan pundakku.
"Ia masih belum mau berkomunikasi dengan siapapun pak, termasuk juga anda. Tapi bukan karena ia marah pada anda, melainkan karena setiap kali melihat anda dirinya selalu merasa malu dan bersalah jadi saya pikir kita harus bersabar untuk mengembalikan kepercayaan dirinya kembali pak. "
"Iya, aku harusnya sedikit bersabar lagi," ucapku lemas.
"Tapi sepertinya saya bisa membantu bapak untuk membuka komunikasi dengan Qian!"
Aku menatapnya tajam dengan penuh harapan.
"Mungkin anda bisa berkomunikasi lewat surat yang bisa anda taruh didepan pintu kamarnya untuk saat ini, cobalah berusaha membuka komunikasi tentang hal kecil dengannya dan ajak bergaul"
"Anda benar dok, saya akan mencobanya selepas ini!" ujarku yakin, ia hanya tersenyum senang saja lalu berpamitan pulang .
"Makasih ya dok. "
"Iya pak, nanti dipertemuan konsultasi selanjutnya saya harap Qian sudah mulai terbuka kepada anda. "
"Iya dok,saya juga berharap demikian, " ucapku, lalu membiarkannya pergi melewati pagar rumahku.