Pagi ini aku akan berangkat bekerja, namun tak lupa pula aku menyiapkan sarapan pagi untuk anakku yang sengaja kutinggalkan didepan pintu kamar Qian. Saat ini kami memang tinggal berdua, makanya aku harus bangun pagi-pagi sekali buat menyiapkan segalanya, sebab Asisten Rumah Tangga yang kusewa sejak beberapa waktu lalu hanya bisa datang setiap pukul 9 pagi untuk membersihkan rumah dan menyediakan segala hal yang dibutuhkan anakku. Katanya sih, dia harus mengurus keluarganya dulu sebelum datang kemarin untuk bekerja.
"Ayah berangkat kerja dulu ya, nak. Ini makanan mu!" ucapku, sembari mengetuk pintu kamar Qian.
"Ayah!" panggilnya pelan secara lirih, tetapi cukup terdengar jelas ditelingaku sampai membuatku langsung meletakkan ranselku disofa dan mendekatkan telingaku kepintu kamarnya.
"Iya nak, ada yang kamu butuhkan katakan saja pada ayah." Aku tak bisa menyembunyikan perasaan senang, sebab pada akhirnya anakku mau berbicara kembali padaku meskipun dengan cara seperti ini.
"Maafkan aku yang agak keterlaluan bertingkah seperti ini. Ayah semangat kerjanya ya," ucapnya yang masih terdengar cukup gemetar, sepertinya ia masih teramat takut untuk berkomunikasi denganku.Dimana tampaknya ia tengah berusaha mengalahkan rasa takutnya, karena rasa bersalah terhadapku.
"Tidak apa-apa nak, aku akan menunggumu sembuh." ucapku padanya, "Ayah akan semangat bekerja kok!" sambungku lagi, lalu berjalan pergi meninggalkan rumah dengan mobil.
Selama perjalanan, aku tak henti memperlihatkan senyuman bahagia diwajahku, senyuman yang beberapa lalu tak bisa kurasakan lagi.
Namun kebahagiaan itu berganti menjadi kekesalan, tatkala saat melihat Susi berada didepan kantorku dengan pakaian kemeja gurunya,hingga membuatku terpaksa memarkirkan mobil dengan wajah cemberut.
Dengan langkah yang cepat, aku menghampirinya yang saat itu tengah menatapku tajam sembari menggandeng tas laptopnya.
"Ada apa?" tanyaku datar.
"Sampai kapan kita akan menjadi seperti ini? aku ini istrimu jadi hargai aku," keluhnya. Berani sekali ia mengeluhkan hal tersebut padaku, tanpa ia pernah sekalipun menyadari betapa hancurnya hati anakku yang telah dirusaknya.
"Hargai juga anakku!" Jawabku singkat, lalu menariknya menjauhi kantor agar tidak dilihat rekan kerjaku.
"Kita bisa bicarakan sepulang kerja nanti, jadi pergilah mengajar sana!"
"Sampai kapan kau akan mengurus anakmu di Rumah Sakit? Pikirkanlah juga keluargamu yang Sekarang ini."
Aku memegang kedua pundaknya dan menatap matanya dengan penuh keseriusan.
"Aku menikahimu bukan semata-mata mencintaimu saja. Aku memilihmu sebagai istriku, agar kau bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku.Kau harusnya mengurus anakku saat aku mencari nafkah untuk kalian," ucapku tegas.