Aku berjalan memasuki rumah mantan suami istriku. Rumahnya cukup rapi dengan warna biru muda pada seluruh dindingnya, dan pekikan tawa kecil adik-adiknya Anggi yang diasuh oleh bapak kandungnya sendiri.
"Di mana Anggi?" tanyaku langsung kepadanya. Ia hanya menunjuk ke arah sebuah kamar yang berada di sebelah ruang tamu.
"Di kamarnya dari tadi pagi. Perlu saya panggilkan?"
"Silahkan, saya juga hanya perlu menyampaikan pesan dari ibunya saja."
"Tunggu sebentar ya." Ia langsung mengetuk pintu tersebut yang segera dibuka oleh Anggi. Anak itu sepertinya belum mandi dari tadi pagi, makanya rambut Anggi terlihat masih acak-acakan dan kantung mata gelap seperti habis bergadang saja.
"Mama mau minta apa lagi?" tanya Anggi begitu melihat kehadiranku. Ia berjalan dengan langkah yang malas, mengenakan kaus gelap yang pasti sudah dipakai sejak kemarin. Penampilannya sangat berbeda saat ini, seperti anak yang tidak terurus saja.
"Ia menyuruhmu pulang, kau kan anaknya. Jadi, janganlah membangkang ucapannya!"
"Enakkan lagi di sini, daripada balik ke rumah itu. Bilang saja sama mama, kalau aku gak tinggal di sana lagi, Yah."
"Anggi, kamu gak boleh ngomong gitu! Kasihan mama kamu," ucap Hakim pada anaknya itu. Wajar sih memang bagi seorang ayah kandung seperti Hakim menasehati anaknya. Tapi rasanya aku malah agak kesal, tidak seharusnya ikut campur urusan keluarga kami. Entah kenapa, pandanganku membayangkan bahwa ia menganggapku sebagai ayah sambung yang buruk untuk Anggi.
"Mendingan Anda gak usah ikut campur, Pak. Bisa tolong beri kamu waktu berbicara berdua saja!" ucapku tegas pada ayah kandungnya Anggi. Aku rasa ini adalah masalah privasi keluarga kami.
"Baiklah, aku akan bermain sama Tara dulu," responnya tanpa terlihat ingin beradu argumen padaku. Lalu, ia pergi begitu saja meninggalkan kami yang tengah memanas.
"Jangan menyusahkan! Pulanglah dan minta maaf pada Mama mu."
"Aku tak menyusahkanmu, mendingan gak usah repot-repot menyuruhku pulang dan urus saja anakmu sendiri."
"Jaga mulutmu, nak!" bentakku yang sudah kehilangan kesabaran padanya. Tapi malahan ia bukannya takut dan malah berjalan mendekatiku dengan wajah liciknya yang mengingatkanku kalau dulu ia selalu menghina anakku dengan tatapan menjijikkan itu.