Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit sembari membawa tas ransel hitam yang dulu selalu dipakai oleh putraku setiap ke sekolah dan ini untuk pertama kalinya aku sengaja mengantarkan tas ransel itu kepada pemiliknya yang pasti sangat dirindukan Qian setelah genap setahun ia mengalami koma dan kini hanya bisa terbaring kaku diatas ranjang rumah sakit dengan wajah datar dan mata terpejam yang semakin lama membuatku muak bercampur amarah setiap kali aku memasuki ruangan kamarnya yang ada di lantai atas.Bukan tanpa alasan aku sengaja membawa tas ransel itu ke rumah sakit, tentunya aku sengaja mengenakan tas itu karena tas ini adalah satu-satunya benda terakhir pemberianku setahun lalu kepada Qian dihari ulang tahunnya.
"Selamat pagi Qian, ayah datang!" Teriakku memasuki ruangan kamar Qian dan masih mendapati dirinya yang lebih memilih berbaring kaku diatas ranjang, aku hanya bisa berpura-pura tersenyum saja memandangi dirinya dan berusaha untuk terus mendukungnya agar tetap semangat melewati masa kritis ini dengan penuh pengharapan.
"Hari ini ayah membawakan tas ransel kesayanganmu sebagai perayaan genap setahun kau tertidur pulas, jujur saja ayah sedikit kesal padamu karena kau lebih memilih melewatkan hari ulang tahunmu sebulan yang lalu dengan terus-menerus berbaring disini" ucapku panjang lebar, hingga akhirnya puncak kesabaranku mulai runtuh oleh tembok penyesalan sebagai seorang ayah yang gagal mengetahui kebenaran dari alasan putranya memilih mengakhiri hidup seperti ini.
"Nak, aku benar-benar tak bisa lagi menahan diri untuk terus berpura-pura bahwa hubungan diantara kita baik-baik saja, aku ingin kau bangun dari tidurmu dan memeluk tubuhku yang sudah mulai tua ini" aku menggenggam erat jemarinya yang masih terlihat sama seperti saat pertama kalinya ia terlahir dimuka bumi ini tujuh belas tahun yang lalu.
"Apa alasanmu mencoba mengakhiri hidupmu sendiri nak? Beritahu ayah!" Jeritku tak karuan hingga kehilangan kendali untuk beberapa detik, namun setiap kali menatap wajah Qian mendadak amarahku lenyap seketika karena entah mengapa hati kecilku mengatakan bahwa tak mungkin Qian membenciku dan pasti ada alasan yang membuatnya terbebani sampai membuatnya seperti ini.
"Ah sudahlah, maafkan ayahmu yang terlalu dramatis ini dan ayah janji akan selalu menunggumu disini sampai akhirnya kau terbangun dan menjelaskan semuanya pada ayah" ucapku sembari meletakkan ransel itu di dekatnya, namun disaat yang bersamaan saat aku membuka resleting tas ransel itu, aku menemukan sebuah buku tebal yang tersimpan lama disana dan tentunya buku ini membuatku tertarik untuk segera membacanya tatkala saat membaca judulnya.
"Diary milik Qian" ejaku, tentunya aku langsung menyingkirkan tas itu ke sofa yang berada tak jauh dari posisi ranjang Qian dan membuka halaman pertama buku diary milik putraku sendiri yang seakan-akan memberikanku petunjuk atas isi hati Qian sebenarnya yang sama sekali tak pernah ku ketahui sebagai seorang ayah .
Halaman pertama buku itu memperlihatkan beberapa fotoku dengan Qian dimana melalui foto itu aku melihat wajah Qian yang sangat ceria berbeda dengan kepribadiannya beberapa tahun belakangan ini, kemudian setelah aku cukup puas memandangi foto kami akhirnya aku membalikkan halaman berikutnya buku itu yang mana didalamnya terdapat serangkaian kalimat yang membawaku untuk lebih mengenal dunia yang dijalani oleh putraku sendiri dimana dunia itu benar-benar merubah Qian yang dulunya dikenal sebagai anak yang baik dan cerdas kini berubah menjadi sepotong daging yang hampir tak bernyawa.
****
Awal semester genap dibangku kelas tiga SMA adalah momen yang disayangkan bagi kebanyakan pelajar termasuk juga teman-teman kelas dan asramaku, akan tetapi sangat berbeda denganku yang merasa kalau ini adalah akhir dari penderitaanku.
Dengan langkah yang santai diriku memasuki ruangan kelas yang masih sepi karena teman-temanku sedang sarapan pagi diruang makan sedangkan aku memutuskan untuk langsung pergi ke kelas dengan berbekal roti yang ada didalam tasku, aku sengaja tidak sarapan di ruang makan karena tidak ada satupun meja yang menerima kehadiranku dengan tatapan mata kebencian setiap kali aku meraih kursi kosong disebelah mereka.