"Kenapa kau tak pernah mengatakannya nak?" Tanyaku yang tak kuasa menahan rasa bersalah, aku benar-benar tak menyangka kalau putraku sendiri mengalami kehidupan yang berat selama ini.
"Maafkan ayah, nak" aku mencoba menghapus air mata yang berlomba-lomba turun membasahi wajahku sebab aku tak ingin Qian merasa sedih mengetahui ayahnya tengah menangis, Dengan hati yang berat aku berjalan keluar ruangan demi menenangkan diri sendiri.
Aku kembali berjalan menyusuri koridor rumah sakit seperti biasanya dikala aku merasa tak sanggup melihat Qian yang tak kunjung bangun dari kritisnya hanya untuk menenangkan diri akan tetapi perasaan kali ini jauh berbeda sebab ada perasaan kesal bercampur amarah terhadap istriku sendiri, saat ini perasaan curiga memuncak di dalam diriku seusai membaca halaman pertama diary tersebut mengenai Susi yang memperlakukan Qian dengan pilih kasih .
"Paman, kenapa sedih?" Tanya seorang anak perempuan yang berjalan menghampiriku, ia juga mengenakan pakaian rumah sakit seperti Qian.
"Paman gak sedih kok, oh iya kenapa berlari-lari sendirian disini"
"Aku gak mau minum obat makanya sembunyi dari suster" bisiknya, " Aku sering melihat paman dirumah sakit ini, apa anaknya paman belum sembuh juga?"
"Belum" jawabku singkat, entah kenapa kehadiran gadis kecil ini kembali membangkitkan memori lamaku mengenai Qian yang saat itu masih kecil dengan sejuta keceriaan di dalam dirinya, Qian yang selalu memberikan warna kebahagiaan sehabis pulang bekerja.
"Emangnya anaknya paman sakit apa?" Tanya gadis perempuan itu yang seketika membuatku tercengang mendengarkannya, kini aku mulai paman bahwa sakit yang diderita putraku adalah sakit batin yang hampir kebanyakan anak-anak didunia ini pasti merasakannya di dunia yang kejam ini.
"Kok paman diam, pertanyaanku salah ya"
"Gak salah kok, oh iya nama kamu siapa?"
"Aira Cantika Pratiwi, paman bisa memanggilku Aira" jawabnya dengan penuh senyuman.
"Aira kok dirumah sakit,emangnya Aira sakit apa?" Ia memperlihatkan wajah sedihnya padaku.
" Aku dibully sama teman-teman dikelas beberapa bulan yang lalu, tapi sekarang kata dokter kalau aku udah sembuh kok karena udah bisa ceria lagi seperti dulu jadi sebentar lagi dibolehkan pulang"
"Kasihan sekali kamu, nak"
"Aku gak apa-apa kok paman, lagian aku udah umur 12 tahun jadi gak boleh lemah kasihan papa dan mama sedih terus"
"Kamu memang anak yang hebat"
"Anak paman pasti bakal sembuh juga kok selama paman selalu ada didekatnya, seorang anak butuh kasih sayang orang tuanya" perkataannya barusan membuatku merasa bangga padanya, ia memang masih kecil tetapi ucapan bijaknya mampu memotivasi setiap orang.
"Ya sudah, aku pergi dulu ya paman" ia langsung meninggalkanku yang hanya bisa menatap bangga kepergiannya sembari menghela nafas panjang.
Bagiku siapapun orang tuanya pasti sangat bangga memiliki anak yang kuat sepertinya dan rasanya bertemu anak itu menjadi sebuah momen berharga untukmu sebab karenanya aku mulai paham bahwa Qian sangat membutuhkanku baik itu dimasa lalu, saat ini maupun dimasa depan kelak.
"Lebih baik aku kembali ke ruangan Qian" desahku, lalu aku berjalan kembali ke kamar Qian dan bergegas melanjutkan membaca diary miliknya.
****
Sebulan telah aku melewatkan hari-hari disekolah ini ditemani dengan buku-buku persiapan ujian nasional yang tak pernah bosan mengisi duniaku, sama halnya saat ini aku memilih menghabiskan waktuku untuk mengulang pelajaran kembali dikantin sekolah yang telah sunyi dibandingkan kembali keasrama.