Aku menutup diary milik putraku sembari menatap kamar Qian yang mulai berdebu karena jarang dibersihkan, sampai tak sengaja kedua mataku tertuju pada handphone Qian yang tergeletak diatas meja belajarnya dengan percikan bekas noda darah yang sudah mengering dan layar setengah pecah.
Aku langsung mengambil handphone itu dan mengisi daya handphone sembari memainkannya untuk memeriksa seluruh isi aplikasi didalam handphone termasuk juga pesan WhatsApp yang tak memberikan informasi apapun sampai tak sengaja aku melihat sebuah pesan grup kelas yang diarsipkan dengan pemberitahuan bahwa putraku keluar dari grup kelas, tetapi bukan hal itu yang menjadi titik fokus menariknya melainkan isi pesan grup yang menyebabkan Qian memilih keluar dari grup dan mencoba mencelakai dirinya setahun yang lalu.
"Anak yang malang, udah capek-capek mengadu kami mencontek saat uasbn dan malahan kau tak lulus universitas dijalur manapun " Seketika hatiku terasa sakit setelah membaca pesan dari salah satu teman kelasnya, aku tak habis pikir bagaimana mungkin mereka menghina kegagalan seseorang dikala orang tersebut membutuhkan dukungan untuk membuatnya bangkit.
"Untuk apa pintar dikelas tetapi gak dianggap guru, mendingan kayak aku biasa-biasa aja tetapi gitu lulus universitas langsung diakui semua guru" ejaku membaca pesan teks ini yang malah membuatku semakin marah dan akhirnya meletakkan handphone tersebut kemeja,aku tak ingin lagi meneruskan membaca grup WhatsApp tersebut yang malah semakin membuatku geram dan ingin memukul segerombolan anak nakal itu.
"Lebih baik aku menemui wali kelas mereka" ucapku penuh yakin dan bergegas keluar rumah, namun yang membuatku bertambah kesal tatakala saat melihat istriku yang tak merasa bersalah dan malah sibuk memainkan laptopnya dengan beberapa buah raport disekitarnya.
Tentu saja aku langsung berjalan acuh melewatinya yang sama sekali tidak memiliki rasa empati dan mengendarai mobilku menuju rumah wali kelas Qian.
Lokasi rumahnya cukup jauh dan sedikit sulit ditemukan, akan tetapi untungnya dengan sedikit usaha dan kecanggihan teknologi memudahkanku untuk menemukan rumah tersebut yang tampak minimalis bewarna hijau daun yang sangat elegan.
"Selamat siang.." ucapku sambil mengetuk pintu rumahnya, tak lama kemudian keluarlah seorang wanita yang usianya lebih muda dariku sembari menggendong anak balitanya.
"Siapa ya?" Tanyanya.
" Saya orang tua dari murid anda yang bernama Qian Alvaro" seketika sikapnya sedikit lebih ramah dan mempersilahkanku untuk duduk diruang tamunya sembari menyuruh asisten rumah tangga yang bekerja dirumahnya untuk menyeduhkanku teh hangat .
"Maaf pak, Qian itu mantan murid saya angkatan keberapa ya?" Tanyanya yang terlihat kebingungan, tentunya aku yang mendengarkan pertanyaan itu hampir saja memuntahkan teh yang baru kuteguk.
"Angkatan 2019 buk, masa ibu tidak tahu kan ibu wali kelasnya"
" Sebentar pak" ia berjalan pergi meninggalkanku dan kembali dengan membawa sebuah bingkai foto berukuran sedang yang didalamnya ada foto kelas.
"Putranya bapak yang mana ya?"
"Kenapa Qian gak ada difoto ini?" Tanyaku balik yang menatap tak percaya, bagaimana mungkin seorang wali kelas tak mengenali muridnya sendiri dan kini harus kuakui kalau semua yang dituliskan Qian diduary adalah kenyataan yang benar-benar ada didunia ini tanpa sedikitpun didramatisir.
"Oh tunggu pak! Maksud bapak anaknya bapak yang pendiam dikelas saya itu ya?" Aku hanya mengangguk saja karena enggan memperdebatkan hal tersebut.
"Saya dengar kalau ia tak lulus universitas ya, terus gimana kabarnya sekarang pak?" Tanyanya tanpa rasa malu.
"Maaf ya buk, kalau boleh saya tahu bagaimana menurut anda sikap anak saya disekolah?"
"Saya juga kurang mengenalnya, mungkin hanya beberapa guru yang bisa memahami anak itu dan hampir semua guru pasti memiliki sifat seperti saya jadi harap dimaklumi ya pak, tetapi Qian itu anak yang pendiam dan tak pernah ikut merayakan hari guru setiap tahunnya padahal saya sudah tiga kali berturut-turut jadi wali kelas mereka selain itu Qian sedikit bau dan hampir setiap mata pelajaran saya pasti Qian selalu tertidur di kelas"
"Kenapa anda tidak mencoba untuk memahaminya? Bukankah Anda gurunya?" Ketusku yang semakin kesal melihat caranya berbicara yang tak merasa bersalah.
"Saya pikir kesalahan anak itu bukan salah saya dong, itu kesalahan sepenuhnya orang tua yang gagal mendidik anaknya jadi jangan salahkan saya karena tugas saya cuman mengajar saja dan masalah ia mampu memahami pembelajaran atau tidak mampu juga bukan kesalahan saya"
"Saya pikir kalau semua guru memiliki sifat seperti anda rasanya dunia akan melahirkan generasi muda yang buruk" bentakku lalu bangkit dari sofa, aku langsung mengoyak bagian tentangnya dari diary Qian dan meletakkan dimejanya.
"Anakku tak berniat untuk tidak merayakan peringatan hari guru denganmu, kau harus bisa memahami semua keluhan yang dialami muridmu yang mungkin bisa saja bakal dialami oleh bayimu kelak" bentakku yang sudah kehilangan kesabaran dan bergegas pergi dari rumah itu.
Dengan kesunyian didalam mobil yang kulajukan sedikit pelan, aku menangis tak karuan bila membayangkan kehidupan yang harus dialami putraku. Aku juga teringat akan ucapan wali kelas Qian yang mungkin saja semua hal yang menimpa Qian bukan hanya kesalahan gurunya melainkan juga kesalahanku yang gagal memahami Qian yang seharusnya kujaga dengan baik sebab ia adalah anugerah terindah dari Tuhan.
Dalam kesedihan ini tanpa sengaja mobilku membawa lelaki tua yang gagal mengasuh anak ini kesebuah taman bermain yang biasanya menjadi tempat favorit untukku dan Qian sewaktu dulu dan tepat dipojok bangku taman yang menghadap pancuran air mancur adalah posisi favorit kami menyantap es krim dan gulali bersama.
Aku langsung bergegas kesana dengan langkah yang semakin berat dan pandangan yang linglung, lalu menjatuhkan diri dibangku taman yang terbuat dari semen itu sembari membuka kembali diary milik Qian yang harus segera kuselesaikan untuk membacanya.
****
"Aku boleh pergi berangkat dengan kalian?" Tanyaku pada imam yang bersiap-siap untuk berangkat ke kolam renang yang tak jauh dari sekolah kami sebab hari ini adalah ujian akhir renang yang wajib diikuti oleh semua murid, akan tetapi tatapan mata teman-teman ku terlihat tidak tertarik untuk mengajakku berangkat bersama.
"Bukannya gak mau ngajak kau cuman orang ini gak suka berangkat bareng kau, jadi kau pergi sendiri aja ya!" Tukas imam, aku hanya bisa mengangguk saja menerima penolakannya sembari berjalan mengelilingi asrama untuk mengajak anak lain yang dari kelas berbeda untuk pergi bersama meskipun kenyataannya pasti. Berakhir penolakan, akan tetapi setidaknya aku sudah berusaha mendekati diri dengan mereka sekaligus menghemat ongkos taksi online kami.
Namun sudah hampir setengah jam aku tak hentinya memohon pada teman se-angkatanku sampai asrama kami perlahan sepi karena hampir semua teman-temanku telah berangkat pergi ke kolam renang .
Akan tetapi nasib baik masih berpihak padaku yang mana untun saja ketika aku akan beranjak pergi ke kolam renang dengan putus asa, tak sengaja aku melihat kelas Andi yang baru saja pulang dan sepertinya mereka bergegas kembali keasrama untuk berangkat ujian renang juga.
"Andi!!!" Teriakku sambil mendekatinya.
"Aku ikut berangkat renang barengmu ya?" Tanyaku, awalnya ia terlihat ragu sampai menghentikan langkahnya sejenak sembari menatap kedua kawannya yang memberikan ekspresi tidak setuju, tetapi dalam sekejap keraguan itu direspon dengan penerimaan oleh Andi yang langsung tersenyum lebar padaku .
"Kok mau kau berangkat bareng dia?" Tanya Kevin yang tak suka padaku.
"Biar ongkosnya murah, lagian kalau naik taksi online berempat kan jadi murah" jawabnya dengan penuh bijaksana, "ya udah kami bersiap-siap dulu baru kita berangkat dan kau tunggu disini aja dulu" ucapnya padaku lalu menarik kedua temannya keasrama untuk bersiap-siap.
"Yuk berangkat!!" Ujar Andi beberapa jam kemudian yang langsung membuyarkan lamunanku sedari tadi menunggu mereka, aku sedikit melirik kearah mereka yang berpenampilan rapi dengan kemeja yang selalu diloundry oleh kepala asrama berbeda denganku yang harus mencuci sendiri karena uang jajanku yang tak cukup sebab harus membayar uang kas dan terkadang tak pernah rutin diberi uang jajan oleh ibu tiriku.
"Kenapa kau nengok kami gitu kali?" Tegur Bisma yang tampaknya sadar kalau aku tak hentinya menendangi mereka sedari tadi.
"Wangi cucian loundry ya pakaian kami?"
"Iya andi, lagian kenapa kalian gak nyuci sendiri?" Tanyaku iseng yang dibalas tawa oleh ketiganya.
"Orang tuaku yang nyuruh loundry, lagian aku juga banyak kegiatan diasrama" jawab Kevin dengan bangganya, aku hanya mengangguk saja meski tak bisa dipungkiri terbesit rasa iri akan kehidupan mereka yang sangat sempurna dimataku dan terkadang rasanya aku sangat merindukan almarhumah ibu yang selalu merapikan pakaianku setiap akan berangkat sekolah dan tak lupa memasang dasi merahku kala itu, ibu adalah wanita terbaik sekaligus orang tua terbaik dimataku dan jelas saja aku sangat bersyukur terlahir dari rahimnya meskipun tuhan telah membawanya lebih dahulu meninggalkanku.
"Orang tua kalian pasti sangat menyayangi kalian, iri aku!" Ucapku terang-terangan, mereka hanya menatap bingung saja karena merasa bingung sampai akhirnya supir taksi memecahkan kebingungan diantara kami.
"Semua orang tua pastinya menyayangi anak-anaknya, mereka akan berusaha bekerja keras demi bisa membahagiakan anaknya termasuk juga saya, walaupun gaji saya gak seberapa tetapi rasa cinta saya kepada anak saya sangat besar makanya saya rela menghabiskan waktu saya untuk mencari uang demi membesarkan anak saya supaya bisa meraih cita-citanya " kami hanya tersenyum sendu mendengarkan kisah inspiratif dari bapak supir taksi ini, ia terlihat tulus saat mengatakan hal tersebut dan tak bisa dipungkiri bahwa semua yang dikatakannya tersebut membuatku teringat kembali akan ayah yang tengah bekerja diluar kota demi menafkahiku dan saudara tiriku.
"Wah kisah bapak benar-benar membuat kami terharu, kayaknya pulang dari sini aku harus minta maaf sama bapakku" ucap Kevin yang membuat kami mengangguk setuju.
"Berhenti disini pak!!" Jerit Bisma yang membuat kami kaget termasuk juga pak supirnya.