Menulis diary...
Aku tidak pernah tahu apa istimewanya menuliskan isi hati di atas kertas kosong yang bahkan tidak untuk dibaca siapapun. Bagiku itu terlihat bodoh. Seperti ingin mengutarakan sesuatu, namun tidak berani mengatakannya. Menulis sesuatu untuk seseorang, namun tidak pernah memperbolehkan orang itu untuk membacanya. Lalu untuk apa ditulis? Bukankah akan sama saja beratnya dengan hanya dipendam tanpa menuliskannya?
Setidaknya itulah idealismeku dulu. Suatu konsep berpikir di saat aku belum mengenal apa arti dari sebuah ‘kesepian’. Karena jauh sebelum hari ini tiba, hari-hariku adalah kehidupan yang ramai dan seru. Jangankan untuk menulis buku harian, bahkan untuk sekedar bersyukur saja pun aku sering lupa. Lagipula, tidak ada hal besar yang membebani perasaanku. Keluargaku biasa saja. Pendidikanku juga biasa saja. Kalaupun ada yang spesial, itu pasti hanya tentang kedekatanku dan Remi.
Tapi dulu Remi ada. Dan kita selalu bersama. Jadi aku tidak perlu menuliskan apapun tentang kami. Karena kapanpun aku mau, aku bisa mengatakannya langsung kepada Remi. Begitulah masa laluku berjalan dengan cukup sederhana.
***
Tentang Remi, aku tidak bisa merincikan sosoknya di sini. Butuh satu judul baru dengan ratusan lembar kosong untuk membiografikan kedudukannya di hampir semua fase pendewasaanku. Kami berkenalan di musim-musim orientasi. Tepat ketika anak-anak delapanbelas tahunan datang berduyun dengan style tanda bullying. Saat pabrik cokelat memperbesar jumlah produksinya karena hafal dengan tradisi ‘surat cinta untuk kakak tingkat’.
Benar, itu adalah masa dimana ratusan remaja akan kembali datang untuk menjadi bagian dari keluarga besar kampus kami. Tapi tentu saja aku dan Remi tidak terlibat aktif di kegiatan itu. Kami tidak berkenalan di momen itu. Karena momennya justru baru terjadi di akhir masa orientasi. Di awal tahun keduaku berkuliah. Di hari pertama kami mengikuti pelajaran sebagai ‘mahasiswa semester tiga’.
“Apakah daftar absen kelas ini masih sama dengan semester lalu?” ujar seorang dosen muda yang belum pernah mengampu kami sebelumnya.
“Masih dong pak," jawab kami dengan kalimat dan volume yang bervariasi, yang tentu saja mengundang gaduh ruangan dalam kelas waktu itu.
“Maaf pak," seseorang membuka pintu. Aku mengenal sosoknya. Begitupun teman-temanku. Tapi dia bukan anak dari kelas kami.
“Ada apa?” pak Dosen mempersilahkannya untuk masuk dan mendekat. Di hari itu aku baru tahu bahwa nama dosen tersebut adalah Pak Athif. Sebagian dari kami memanggilnya ‘Mas Athif’. Dia memang semuda itu sih. Bekerja selama dua tahun begitu wisuda. Dan kemudian menempuh pendidikan S2 sambil menyandang gelar sebagai dosen muda. Kalau kuhitung-hitung, sepertinya perbedaan usia kami hanya berkisar lima sampai enam tahunan.