Diary Ta'aruf

Sastra Introvert
Chapter #2

Definisi Putus

Mari kita cukupkan pembicaraan tentang Remi. Aku tidak ingin membencinya karena ambisiku sendiri. Juga tidak ingin memaksa diriku di luar batas kemampuan. Walau mungkin orang bijak pernah berkata; ‘move on itu bukan melupakan, tapi mengikhlaskan’. Tapi tetap saja, aku lebih suka untuk menyederhanakan caraku dalam melanjutkan hidup. Kalau bisa melupakan, kenapa harus terus diingat? Oke, cukup!

Hari ini aku akan bertemu dengan keenam sahabatku. Ini hari libur. Dan ini adalah pertemuan pertama kami, setelah wisuda satu tahun lalu. Tadinya, aku tidak ingin datang. Aku tahu bahwa topik pertemuan kita hari ini adalah ‘konsep kondangan’. Apalagi pernikahan yang akan kita hadiri nanti, adalah pernikahannya Remi. Semua perempuan waras pun, tidak akan mau menghadiri pertemuan seperti itu. Tapi kurasa, aku memang sedang benar-benar tidak waras.

 

“Gue udah di depan Zoy,” pesan masuk dari Noel membubarkan lamunanku. Sekarang, aku sudah tidak punya pilihan untuk mengurungkan niat. Noel sudah menjemputku, dari kilometer yang bahkan harus ditempuh dalam waktu nyaris satu jam. Lagipula, aku merindukan mereka.

“Nuuuul,” aku berlarian ke arah Noel. Dari belakang, dia tampak lebih berisi dibanding setahun terakhir aku melihatnya. Jadi kutebak, mungkin kedua mata sipit itu, kini semakin tenggelam di antara lekukan pipinya.

“Wahwahwah, long time no see Zoy,” Noel menoleh. Tentu saja dia tidak terkejut. Aku bahkan masih seperti diriku, di satu tahun lalu. Jujur saja, tahun kemarin adalah tahun tersibukku. Aku sampai tidak punya waktu untuk mengurus diriku sendiri, saking sibuknya mencari kabar tentang Remi. Laki-laki yang di saat aku sedang sibuk menunggunya, mungkin dia justru sedang sibuk melamar seorang wanita. Baiklah... aku memang bodoh.

“Kok lu makin ganteng Nul? Gue kira lu bakal makin kayak boboho tadi haha,” Apakah masa tumbuh kembang laki-laki, jauh lebih pesat dari perempuan? Aku cukup pangling melihat Noel yang dulu hanya beda tinggi setengah jengkal dariku, kini sudah bertransformasi menjadi Noel yang gagah. Begitu dia berdiri, gumpalan badan itu justru terlihat semakin presisi dengan tinggi badannya yang ideal. Aku jadi merasa berdiri di samping salah seorang PASPAMPRES.

 

Noel adalah orang pertama yang melakukan personal chat denganku, sesaat setelah Remi mendadak online, dan begitu saja membuat gaduh grup whatsapp kami, dengan undangan pernikahannya. Kukira aku cukup lihai untuk menyembunyikan perasaanku. Tapi entah, kenapa Noel begitu mudah menerawangnya. Noel bilang; bahkan kelima sahabatku yang lain pun, mencemaskan hal yang sama tentangku.

Memang sih, setahun kemarin aku sering kali menghubungi Tomi, Rasya, Bombom, Iky, Ucup, dan Noel, hanya untuk sebatas menanyakan kabar Remi. Saking jenuhnya dengan pesan cemasku, Iky sampai bilang; ‘coba cari di koran berita bunuh diri, semoga sih gak ada nama dia di sana’. Tentu saja aku tahu Iky hanya bercanda. Tapi aku, Iky, dan kami semua sudah tahu tentang background keluarga Remi yang memang sedang diujung tanduk. Jadi, bukannya tertawa, aku justru dibuat semakin overthinking dengan kalimat Iky. Aku bahkan benar-benar membeli koran hampir setiap hari, pada saat itu.

 

“Nul, lu gak papa jemput gue?” aku bertanya dengan suara yang melawan arah angin. Suara yang hampir bisa dibilang ‘teriak’.

Lihat selengkapnya