Ayra Misha Sabhira. Kalian pasti belum pernah mendengar nama itu. Tentu saja, sebab dia adalah halaman yang terlompati dari cerita lamaku. Sebenarnya tidak sespesial itu sih. Dia adalah temanku. Teman sekampus yang berbeda program studi. Aku mengenalnya, karena dia adalah bagian dari BEM. Kepala bidang sosial, yang sosoknya selalu mengemuka, setiap kali ada musibah dan bencana yang menimpa tanah air.
Aku tidak terlalu dekat dengan Ayra. Tapi Noel dekat. Cukup dekat untuk dibilang ‘punya harapan’. Tapi, harapan mereka terhalang tembok besar yang kokoh. Ayra terlalu sholehah untuk dirasa; akan pindah agama hanya karena cinta. Dan Noel pun sebaliknya.
Tentang cerita kedekatan Ayra dan Noel, sebenarnya simple. Tidak terlalu panjang seperti kisahku dan Remi. Walaupun kami sekampus, dan kami teramat sering melihat figur Ayra di balik aksi-aksi kemanusiaannya; perhatian Noel terhadap Ayra justru baru hadir di beberapa momen berikutnya. Aku lupa semester berapa. Yang jelas, saat itu tatapan Noel sepenuhnya tersihir oleh pemandangan langka, ketika seorang wanita dengan hijab syar’i itu, berjalan mendekati wanita tua yang lusuh dan berkeringat.
“Silahkan bu, untuk makan siang,” ujar Ayra kala itu. Aku dan teman-teman cukup jelas mendengar suara lembutnya, karena kami nyaris berpapasan.
“Bidadari dunia....,” bisik Noel, seketika setelah melihat bagaimana Ayra memperlakukan seorang pemulung sampah yang sedang menepi.
Sejak saat itu, Noel selalu memperhatikan, dan membanggakan aksi-aksi Ayra kepada kami. Dia selalu bilang; 'Panteslah dia jadi KABID Sosial, karena dia tuh emang care gitu loh sama semua orang, bukan cuma kayak tuntutan tanggung jawab profesi.' Lucukan? Aku bahkan sampai hafal kalimat dan gaya bicaranya! Tentu saja, ya karena Noel memang sesering itu—pada waktu itu—membicarakan Ayra.
***
Hari ini, aku tiba-tiba teringat Ayra. Lalu mencarinya di sosial media. Aku tidak tahu user name-nya. Tapi kata Noel, aku bisa coba mengetikkan saja nama lengkapnya, tanpa spasi. Noel juga yang memberitahukan nama lengkapnya kepadaku. Aneh, kenapa Noel masih bisa mengingat nama lengkap dari seorang wanita, di saat dia sudah menjalin suatu hubungan dengan wanita lain? Apakah itu sisa rasa? Atau memang bagian dari kelebihan seorang pria? Entahlah.
“Lu masih suka stalkingin doi yaaa?” desakku dalam secarik pesan singkat.
“Hahaha, ya kali. Bisa digantung di tugu monas gue sama Tasya, kalau stalking-stalkingin cewe. Apalagi HP gue udah kayak HP dia,” balas Noel yang cukup bisa menggambarkan seposesif apa pacarnya itu.
“Cewe lu oke nih gue nge-chat lu? Haha,” aku hanya bercanda, tapi juga bermaksud memastikan sih. Biar bagaimana pun, tidak semua perempuan akan siap menerima pacarnya, untuk bersahabat dengan perempuan lain.
“Santai, nama lu di kontak guekan ‘my brother’, lagian foto profil lu juga item doang. Tasya gak bakal nyangka kalau lu cewe haha,” benar juga, dulu foto profil whatsappku adalah foto gelang pemberian Remi. Tapi begitu Remi hilang, aku mengubahnya jadi background hitam. Dan aku sampai lupa, kalau selama setahun ini—berarti—foto profilku selalu seperti itu.
“Masa item sih? Coba refresh!”