Diary Ta'aruf

Sastra Introvert
Chapter #5

To Be Keppo People

Hi, apa kabar kalian? Kemarin adalah minggu-minggu produktifku. Minggu tercepat yang pernah kulalui, dengan segala tekanan keppo yang bahkan belum tuntas terjawab. Minggu dimana aku mulai mempelajari hal-hal baru, yang sebelumnya belum pernah kucari dalam laman Google. Ini agak unik. Tapi cukup menarik. Cukuplah, untuk membuatku tidak separno, seperti awal kali membaca pesan ajakan Ayra, untuk pertemuan kami hari ini.

 

“Lu kenapa ngajak gue sihhhh? Pagi banget ini woy!” Iky masih saja mengeluh sedari tadi.

“Tahu lu, sumpah ya ini malu-maluin banget tahu. Emang lu se-gak laku itu apa, sampai harus ikut kegiatan cari jodoh kayak gini Zoy?” Sekarang, giliran Rasya yang berkomentar.

 

Sejak awal, mereka memang tidak bersedia untuk datang ke sini. Tapi aku yang kekeuh menggerebek kamar Rasya, dan memintanya untuk mengantarku ke kosan Iky, dengan mobilnya. Ibu Rasya sampai kaget melihat kunjunganku, di waktu yang bahkan matahari belum terbit dengan sempurna. Saat aku datang, mereka berdua memang masih lelap dalam mimpinya sih. Jadi wajar saja kalau sekarang mereka kesal. Apalagi ini weekend.

 

“Yaelah, sama sahabat sendiri gitu banget sih lu? Emang lu berdua gak cemas, kalau nanti, tiba-tiba, di dalam gue dicuci otak, terus dijodohin sama aki-aki, atau dibawa ke negara antah berantah, buat jadi istri tentara-tentara teroris?” Jujur, aku memang sedikit takut dengan isu ‘pencucian otak’, di dalam forum kajian agama.

“Buset pikiran luuuu! Gue rasa lu kebanyakan nonton berita ngaco deh Zoy,” Iky mengomentari kekhawatiranku, sambil terus menguap. Kata Noel, Iky memang ada jadwal lembur semalam.

“Hahaha, lagian teroris juga belum tentu mau Zoy dinikahin sama lu,” Rasya mulai bercanda. Sepertinya dia sudah kehilangan rasa ngantuknya, setelah dipaksa mengendara mobil ke sana-sini.

 

Harusnya, aku tidak perlu secemas inikan? Apalagi, kajian ini direkomendasikan langsung oleh Ayra, yang nyatanya sampai sekarang belum menikah. Dan tentu saja dia masih di tanah air. Tidak hilang seperti hal-hal yang menggelayuti pikiranku saat ini.

Tapi, tetap tidak ada salahnyakan untuk berjaga-jaga? Toh ini akan menjadi pertemuan pertamaku dengan Ayra juga. Pasti cukup canggung jika kami hanya berdua. Jadi, kuputuskan untuk membawa Rasya dan Iky, dalam masalahku hari ini. Siapa tahu, mereka juga akan mendapat pencerahan dari kajian nanti. Dan setidaknya, mereka memang jomblo. Sama sepertiku.

 

Assalamu’alaikuuuum, Zoyakan?” Ayra menyapaku. Dia datang dengan tertatih. Tapi tetap wangi dan anggun.

Wa’alaikumussalam,” jawab kami bertiga, yang hampir berbarengan.

“Iyaaa, hahaha. Ayra?” Sebenarnya aku sudah tahu itu Ayra, tapi aku tidak tahu harus bicara apa lagi, selain ganti bertanya seperti ini.

“Haha, iya”

 

Aku sempat heran. Kenapa Ayra bisa semudah itu mengenaliku, di tengah kerumuman orang yang seramai ini. Mungkin, kalau dia sudah lebih dulu melihat wajahku sih, bisa dimengerti. Tapi tadi, dia bahkan menyapaku dari balik punggung. Dan itu membuatku jadi penasaran.

 

“Oh iya, kenalin Ra, ini Iky sama Rasya. Gak papakan mereka ikut?”

Hi, ya gak papa dong” Ayra meresponse kedua temanku, dengan tanpa menjulurkan tangannya kepada mereka.

 

Persis seperti adegan perkenalan seorang muslimah, dalam film roman picisan. Dimana ketika tokoh utama laki-laki mulai menjulurkan tangan ke arahnya, dia justru menyedekapkan tangannya di depan dada. Untung saja Raysa dan Iky belum sempat menjulurkan tangan mereka. Jadi, kami tidak perlu menghadapi momen tengsin.

Lihat selengkapnya