Karena ini adalah weekend, selepas kuliah pra nikah, aku, Iky dan Rasya langsung berangkat menuju salah satu cafe yang ada di dekat sini. Anak-anak sudah menunggu di sana. Tentu saja kami juga sudah mengajak Ayra. Tapi jawabannya langsung bisa ditebakkan? Perempuan seperti dia mana mau nongkrong bareng aku dan teman-temanku yang mayoritas laki-laki.
“Seru juga gak sih tadi?” Celetuk Iky dari kursi belakang. Dia terlihat nyaris pulas dengan posisi rebahannya yang cukup bossis.
“Gue sih no ya. Kebanyakan teori gak sih? Emm, gimana ya...” Rasya menjeda kalimatnya. Kurasa dia sedang berusaha menyusun kata agar aku dan Iky tidak memandang buruk penolakannya.
“Maksud gue gini lho, kita aja nih ya, sekolah selama enambelas tahun, dari SD sampai S1—yang dulu katanya bakal berguna buat kita dewasa. Nyatanya gimana coba? Jangankan berguna, gue aja gak inget tuh sebagian besar dari teori yang kita dapet selama sekolah. Bahkan, yang kita pelajarin di kampus—dimana itu adalah ilmu yang relate sama bidang kerja kita pun—gak semuanya bisa diterapin lho ya! Ujung-ujungnya kita cuma perlu intuisi buat berkreasi dan membuat suatu resolusi,” Sependek argumen yang dibilang Rasya, aku setuju. Apalagi saat ini kami memang sudah menjajaki dunia kerja. Dunia yang dari zaman SD selalu didefinisikan dengan suatu fase kehidupan yang sempurna. Padahal, nyatanya dunia kerja pun dunianya pembelajar.
“Berarti minggu depan lu gak lanjut sya?” Aku mencoba menarik kesimpulan, dengan sambil melepas dan memasukkan kerudung peminjaman Ayra ke dalam tas.
“Kayaknya gak dulu. Dan plis jangan libatin gue pagi buta lagi Zoy. Sumpah gue semalam tuh baru kelar nonton bola jam tiga. Terus ibu gue bangunin subuh jam lima. Dan jam enam lu tahu-tahu dateng gitu aja tanpa mau tahu seberapa beratnya kantong mata gue?!” Aku dan Iky menikmati keluh-kesah Rasya dengan tawa yang tak berjeda. Sepanjang jalan, kami berbahagia.
***
Friend space. Itu nama yang digagas Tomi untuk pertemuan kami di setiap weekend. Jam dan lokasi selalu menyesuaikan. Tapi syarat dan ketentuannya berlaku tanpa terkecuali. Yang pertama sudah pasti ‘no partner’. Semua setuju kecuali Ucup. Tapi satu suara tidak akan bisa merubah kesepakatan enam orang. Jadi Ucup mengalah. Lebih tepatnya pasrah.
Untuk syarat yang kedua, masih sama seperti zaman kuliah; ‘no treat’. Konsepnya tetap semua bayar masing-masing. Dan itu memang jadi membiasakan kami ‘jajan’ semampunya. Dari dulu Tomi selalu bilang kalau cara ini baik untuk mengontrol naluri konsumtif manusia. Sekaligus melatih diri untuk tidak menjadi benalu. Dan kurasa itu semua ada benarnya.
Syarat yang ketiga adalah syarat yang terakhir. Syarat ini usulannya Bombom. Sebenarnya terlalu banyak syarat juga tidak asik. Tapi setelah perdebatan yang agak cukup mengulur waktu tidur, akhirnya kami menyepakati itu. “Gimana kalau ‘no gadget’ juga?”. Saran yang diajukannya menjelang akhir chatting time kami. Lagipula gadget memang sumber distract yang paling intens dari sebuah pertemuan.
“Sumpah? Lu pergi ke acara cari jodoh begitu Zoy?” Noel terdengar kaget mendegar Iky dan Rasya membagikan kesan-kesannya tentang kuliah pra nikah yang kami ikuti pagi tadi.
“Jangan kenceng-kenceng juga kali Nuuuul,” Aku masih sibuk memisahkan kulit ayam dari mangkuk mie ayamnya Noel. Tapi kusempatkan diri untuk meliriknya yang entah kenapa harus sehisteris itu.
“Eh tapi untung lu pada nemenin boy!” Bombom mengapresiasi Iky dan Rasya. Tidak tahu saja dia, seberapa susah aku berusaha memisahkan dua makhluk jomblo itu dari kasur mereka.
“Serius deh, emang itu aman ya?” Tomi mulai mengkritisi keputusanku.
“Lu ya Zoy, daripada nekat-nekat ikut acara cari-cari jodoh kayak gitu, yang mana lu juga gak tahu bakal dijodohin sama orang kayak apa. Mending kalau emang udah mau nikah, lu nikah aja sama Iky atau Rasya. Jelas-jelas masih ada dua stock nganggur di sini. Repot banget lu!” Sejak minggu lalu Ucup memang selalu memandang kuliah pra nikah sebagai perumpamaan ‘beli kucing dalam karung’. Jadi aku bisa mengerti dengan maksud dari kalimatnya. Walau mimik wajah itu terkesan bercanda. Tapi Ucup cukup serius untuk menekankan keberathatiannya atas cara yang kupilih.