“Assalamu’alaikum Thar?” Sapaan itu, tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu siapa pemilik suara di balik panggil telepon ini. Suara dari laki-laki yang kukira akan lebih dari sahabat—di masa depan.
“Remi? Ya ampuuuun, lu kemana aja Rem? Sumpah gue cemas banget! Ini nomer lu? Lu ganti nomer dari kapan? Pantesan gue gak bisa hubungi nomer lu yang lama hahaha. Lu tahu gak sih Rem...” Aku terus berbicara sebisaku, sebanyak kata dan cerita yang lama tertahan setelah kepergiannya.
“Thar...” Remi menyela kalimatku, tapi kalimatnya yang terpenggal justru membuatku terenyuh penasaran.
“Gue mau nikah,” Lanjutnya singkat.
“.......”
“Maaf kalau gue sempat tiba-tiba ngilang, lu tahukan gimana bokap nyokap gue? Gak lama setelah kita wisuda, mereka cerai. Belakangan gue baru tahu kalau nyokap gue selingkuh. Padahal lu juga tahukan sebenci apa gue sama sikap tempramennya bokap?! Tapi akhirnya, gue lebih milih ikut bokap....”
“Rem? Are you okay?” Mendengarnya akan menikah, tentu saja membuat hatiku patah. Tapi lagi-lagi, kalimatnya yang terpenggal telah lebih membuatku resah.
Malam itu, tepat sebelum notifikasi grup menjadi ramai oleh surat undangan nikah yang dikirim Remi; dia menghubungiku lebih dulu. Dari balik telepon itu, aku bisa mendengar banyak kabar terkini tentang kehidupannya. Juga tentang bagaimana ia kemudian jatuh cinta. Cinta yang sebenarnya juga sudah dimilikinya dariku, andai saja dia mengerti.
Ternyata, satu tahun kemarin bukan hanya satu tahun yang terberat bagiku, tapi juga Remi. Aku bisa membayangkan itu. Terlebih jika mengingat bagaimana ia selalu membela ibunya dari caci maki ayahnya yang seorang TNI. Walaupun tidak pernah memukul, tapi ayah Remi punya caranya sendiri untuk merusak mental orang lain.
Remi sering cerita, bahwa ketika ayahnya marah, dia akan melukai dirinya sendiri. Memukul-mukul tembok hingga kepalan tangannya penuh darah. Membanting beberapa perabotan rumah yang tidak jarang menimbulkan gaduh. Atau bahkan membakar barang-barang kesayangan istrinya.
Aku masih ingat, bagaimana Remi sangat membenci ayahnya waktu itu. Dan siapa sangka, bahwa di balik kekerasan sikapnya yang buruk, dia punya luka yang dalam. Luka yang tak pernah diucapkan lisan kepada telinga anaknya. Luka yang pada akhirnya justru membuat Remi harus menanggung rasa bersalah karena kekeliruannya dalam berpihak.
“Tahun lalu adalah titik terendah bagi gue dan bokap Thar. Itu adalah fase dimana gue lagi benci-bencinya sama perempuan. Sorry kalau lu jadi termaksud di dalam kebencian itu,” Remi melanjutkan ceritanya.
“Mmm, jadi itu sebabnya. Santai Rem, gue tahu itu emang pasti berat buat lu,”
“Thank you Thar, by the way calon gue namanya Fira, Fira Haura Syifa. Kita kenal dari ta’aruf. Pas banget di samping rumah bokap gue yang baru itu ada masjid besar. Dan entah kenapa, itu toa masjid kayaknya sengaja banget diarahin Allah ke jendela kamar gue. Awalnya gue iseng aja dengerin dari kamar. Tapi lama-lama gue tertarik buat dateng. Apalagi setiap ada kajian itu, Fira juga pasti selalu datang. Gue selalu lihat dia dari jendela kamar gue. Dan entah kenapa dia kelihatan menarik. Ngelihat dia, gak bikin trauma gue ke cewe jadi memuncak. Tanda jodoh kali ya, haha. Anaknya mungil banget, kalem gitu pembawaannya. Pernah sekali waktu gue sapa, eh dia malah menjauh. Sumpah, baru kali itu gue gak percaya diri kalau gue ganteng Thar! Hahaha.”
Kalau mendengar Remi tertawa seperti itu, aku jadi merasa punya tenaga untuk sejenak menepikan rasa kecewa. Aku hanya harus memastikan bahwa selama sambungan telepon ini masih mengudara, aku adalah seorang sahabat. Satu-satunya sahabat yang paling dipercaya untuk mendengar segala detail kelam dan suramnya kehidupan seorang Remi. Jadi setidaknya, aku perlu berbahagia di saat sahabatku berbahagia. Minimal ‘saat ini’ saja. Kalau setelah ini aku ingin menyerah dan menjauh, itu hakku.
***