Diary Ta'aruf

Sastra Introvert
Chapter #8

Tawaran Ta'aruf

Remi kini di hadapanku. Aku menatapnya sedekat terakhir kali kami bertemu. Aku tidak tahu kenapa anak-anak mendorongku, sehingga aku terpaksa menjadi pemandu reoni ini di atas pelaminan. Tapi aku tidak boleh gugup. Tidak boleh seorang pun di antara Remi atau Fira yang menyadari perasaan tidak nyaman ini.

 

“Wihhh my bro! Congrats lho ya!” Aku mendekap Remi sebisaku, senormal mungkin dekapan seorang sahabat kepada sahabatnya. Dan aku bergerak secepat kilat, begitu saja bergeser kepada mempelai wanita—bahkan sebelum Remi sempat merespon ucapan dan tindakanku.

“Fira! Selamat ya. Akhirnya bisa ketemu langsung, Remi sering cerita tentang lu ke kita.” Kulirik mereka yang mengekor di belakang. Tapi sayangnya mereka justru mengelak, seolah memberi kode pada Fira bahwa aku hanya basa-basi.

“Udah yuk udah, foto aja yuk foto!” Noel merangkulku untuk membuat formasi, setelah sebelumnya mereka saling pandang, dengan pandangan yang menurutku terlihat seperti kode ‘failed’.

 

Lalu kami berfoto. Tentu saja Noel menjauhkan posisiku dari Remi. Ucup dan Iky menertawaiku tanpa suara. Tomi dan Rasya seperti ingin pura-pura tidak  mengenalku. Sementara Bombom, tidak ada yang lebih dia pedulikan selain posisi kameramennya. “Mas jangan low angle mas, agak kanan dikit biar perut saja rada ketutup”, begitulah komentarnya. Bombom bahkan terlihat jauh lebih sibuk daripada seorang D.O.P dalam film action.

Sejujurnya aku malu. Aku merasa bodoh dengan telah memeluk Remi dan membuatnya kikuk di depan Fira. Kenapa juga harus memeluk?! Kami masih berpose di atas pelaminan, tapi pikiranku sudah berkelana; membayangkan berbagai kemungkinan terburuk dari kesalahpahaman yang kubuat antara Remi dan Fira. Bagaimana kalau mereka bercerai setelah ini? Aku jadi terpuruk dalam rasa bersalah.

 

It’s okay!” Bisik Tomi sambil sedikit mengacak rambutku. “Namanya juga reflek!” Lanjutnya dengan suara yang gemetar karena menahan tawa.

“Makasih lho guys! Makan ya makan!” Remi meresponse langkah kami yang beriringan menuruni tangga pelaminan.

 

Bersambung. Eh? Mungkin sebaiknya kutulis ‘TAMAT’. Bab tentang Remi dalam diaryku sepertinya akan berhenti sampai di sini. Aku tidak yakin bahwa setelah ini Remi akan turun dan menghampiri meja makan kami. Anak-anak yang lain juga memikirkan hal yang sama. Apalagi mereka menikah tanpa berpacaran. Jadi sudah sewajarnya jika hari ini adalah hari dimana bagi mereka; dunia hanya milik berdua. Mereka bahkan mungkin tidak benar-benar peduli tentang keberadaan kami saat ini; “palingan juga gak ngeh ya, orang kalau lagi di atas pelaminan gitukan pikirannya udah kemana-mana, pasti sibuk ngendaliin deg-deg-annya sendiri-sendiri sih itu,” begitu kata Ucup.

***

Seperti yang bisa kalian tebak, kami tidak menepi terlalu lama di pesta pernikahannya Remi dan Fira. Sejak beberapa hari lalu, Tomi memang sudah memberi usul agar kami cukup menyaksikan akadnya saja. Tidak heran, mereka pasti memikirkan perasaanku.

 

“Akadnyakan pagi, jadi habis dari sana kita bisa langsung gas ke pantai. Bosenkan friend space-nya di cafe terus?!”

 

Tawaran Tomi saat itu adalah win win solution untuk bargaining denganku yang sempat kekeuh tidak ingin menghadiri undangan nikahnya Remi. Lagipula besok aku dan Iky ada kuliah pra-nikah. Noel juga harus flight ke Malang karena urusan kerja. Jadi kalau bukan hari ini, friend space will skip for this week, and i don’t want! Tapi ternyata, manusia hanya bisa berencana;

 

“Halo Ayra?” Panggilan telepon dari Ayra membuatku terpaksa meminta Rasya untuk mematikan mesin mobilnya kembali.

Speaker speaker!” Noel memberi kode. Sudah pasti dia akan begitu. Laki-laki ini memang secret admirer-nya Ayra, baru dengar nama wanita itu disebut saja, dia langsung heboh.

Lihat selengkapnya