Diary Ta'aruf

Sastra Introvert
Chapter #10

Halo Pak Dosen

Kalian pernah mendengar peribahasa yang berbunyi; "asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga"? Sebuah kiasan yang merepresentasikan makna 'jodoh' di dalam benak nenek moyang kita. Bahwa tidak peduli sejauh apapun jarak membentang. Atau selama apapun perpisahan menyudahi. Pada akhirnya apa yang sudah ditakdirkan bersama, tetap akan kembali jumpa. Dan aku tidak pernah menduga bahwa jodohku akan menjadi bagian dari peribahasa itu. Apa? Jodoh? Tidak, tidak! Rasanya terlalu dini untuk menyebutnya sebagai 'jodoh'!

"Ha..halo?" Tomi tersentak kaget dengan panggilan keluarnya yang tiba-tiba diangkat. Sudah kukatakan berulang kali bahwa Muhammad Rafi Athif itu ya adalah 'Pak Athif', dosen ilmu politik kami di semester tiga. Tapi Tomi tetap ingin menghubungi nomer yang tertera dalam CV tersebut. Tomi bahkan bersikeras bahwa 'mungkin saja' itu hanyalah kesamaan nama yang kebetulan--ketika aku membuka portal kampusku untuk menunjukkan nama dosen pengampu Ilmu Politik angkatan kami. Tadinya Noel yang terpikir untuk memeriksa portal itu, tapi dia lupa dengan NIM-nya yang merupakan username portal. Tentu saja Ucup, Iky, Bombom, Rasya, dan Tomi pun lupa. Ulang tahun kami yang dirayakan setiap tahun saja--kalau bukan aku yang memberi kode--mereka lupa satu sama lain. Apalagi NIM pasca satu tahun wisuda.

Ngomong-ngomong soal Pak Athif, aku juga pernah satu kali menyebutkan namanya dalam diary ini. Apa kalian ingat tentang pertemuan pertamaku dengan Remi? Waktu itu dia adalah mahasiswa pindahan kelas yang datang ke kelas kami tepat di saat proses absen sedang berlangsung. Apa sekarang sudah ingat? Ya, Pak Athif adalah dosen yang kala itu mempersilahkan Remi masuk untuk mulai menjadi bagian dari kelas kami.

"Ya, halo.. assalamu'alaikum." suara Pak Athif terdengar jelas dari load speaker ponsel Tomi. Dan saat dialog hampir saja terjadi, tiba-tiba Iky menyodorkan layar ponselku ke depan mata kami satu persatu. Iky berbisik "baca dong pengalaman kerjanya guys! bi-na-bang-sa-ja-kar-ta... kampus kita!". Sontak saja kami semua kaget. Kurasa termasuk Pak Athif. Karena Tomi langsung memutus panggilannya bahkan sebelum sempat menjawab salam.

Bombom dan Rasya yang duduk bersebelahan pun ikut menyodorkan layar ponselnya kepada kami. Mereka ingin menunjukkan bahwa nomor yang mereka ketik dari CV ta'aruf itu adalah nomor yang sudah terdaftar di kontak ponsel mereka atas nama "Dosen Pak Athif" dan "Dos Ilpol Pak Athif". Ucup mencoba melakukan hal yang sama, dan ia tersedak terbatuk-batuk saat mendapatkan fakta bahwa laki-laki yang baru saja mengajakku menikah itu memanglah dosen kami.

"Ah gilaaaaa! gila gila gila! gilaaaaak! hahaha." cuma kata itu yang tersisa di memori jangka pendeknya Noel. Dia seperti bayi yang lahir tanpa kosa kata. Sementara waiter mulai membawakan hidangan kami, Noel terus menatapku dengan kepala yang menggeleng tak karuan.

Benar, hari ini kami batal pergi ke pantai. Rasya bilang, CV ta'aruf Pak Athif lebih urgent untuk dibahas bersama, karena ini menyangkut masa depan persahabatan kami. Dia mengutip sepenggal kalimat dari ust yang mengampu kajian pra nikah waktu itu. Rasya ingat kalau ust tersebut pernah berkata; "bahwa surga istri ada pada suaminya, dan surga suami tetap ada pada ibunya". Jika kedudukan surga ibu saja bisa tergantikan setelah seorang wanita menikah, apalagi kedudukan sahabat-sahabatnya?! Karena itulah, Rasya juga teringat pada nasehat sang ust yang mewanti-wanti kepada para wanita untuk mencari suami yang sholeh dan adil. Laki-laki yang bukan hanya taat dan peduli kepada orang tuanya sendiri, melainkan juga taat dan peduli kepada orang tua dari istrinya. Dan bagi Rasya, mengetahui sudut pandang Pak Athif tentang persahabatan kami pun menjadi penting sekarang.

"Oke, huuuuft... jadi sekarang, gimana rencana lu Zoy?" tanya Tomi sambil menarik piring yang berisikan menu pesanannya.

"Sikat Zoy, gantengnya 11 12 ini sama Remi." Ucup meledekku, dan yang lain tertawa. Tapi aku masih dalam 'mode serius' sehingga tidak bisa menanggapi ledekennya.

"Beuuuh, dia bahkan udah nyiapin bisnis buat lu lho Zoy! Ini nih, kalau CVnya diajuin ke Lenny, gue yakin dia pasti langsung nerima tanpa syarat! Udah ganteng, tajir pula!" aku tahu Iky hanya sedang mencurahkan isi hatinya sendiri. Pasti lukanya belum sembuh. Dasar si calon sad boy.

"Heh, ini apa lagi gontang ganteng gontang ganteng?! Kalau hati gue bisa diatur buat segampang itu jatuh cinta cuma karena tingkat kegantengannya, dari dulu mending gue milih buat jatuh cinta sama salah satu dari kalian, daripada sama Remi!" sial, aku ketularan Iky yang masih terjebak dengan dialog masa lalu.

"Sorry... tapi gue udah punya Kaila dan besok banget first anniv-nya." Tomi menanggapi kalimatku dengan kebercandaan yang sedikit serius.

"Gue besok gak anniv, tapi lu tahukan gue udah berapa tahun sama Ratna?! Kalau ibarat rumah tangga mah, tahun kritisnya udah lewat." keahlian dasar Ucup memanglah membuatku terpuruk seterpuruk-terpuruknya.

Bombom, Rasya, Iky dan Noel tidak ikut memprotes statement-ku. Tapi ketika aku menatap mereka untuk sekedar menilai kesetiakawanan kami; mereka lantas mengangkat tangan sebagai simbol dari ketidakbersediaannya untuk disukai olehku. Aku tahu. Sudah kutebak. Dan aku tidak kecewa. Mungkin itu juga alasannya kenapa Tuhan membuatku jatuh cinta pada Remi, bukan kepada enam laki-laki menyebalkan ini. Karena ceritanya bisa saja justru akan lebih pelik daripada ceritaku dengan Remikan? Anggap saja iya!

Lihat selengkapnya