"Zoy, udah bangun? Gue telp 8 kali kok gak diangkat-angkat? Sebentar lagi udah mau take off nih. Gue gak tanggung jawab ya kalau lu telat kuliah pra nikah. Kebo lu!"
"Astaga, Zoya belum juga bangun? Pantesan dari tadi gue miscall juga gak ada respon. Woy katanya minta bangunin jam tujuh, ini udah setengah delapan masih aja molor. Gue harus miscall berapa kali lagi Zoy? Buruan bangun, gue ngantuk nih mau tidur! Iky udah di depan rumah lu tuh!"
"Hahaha, sya sya, lu habis begadang nonton bola lagi? Btw, gue ketok-ketok pintu juga gak ada yang bukain dah? Apa Zoya pindah rumah?"
"Njirrrr pindah rumah hahaha, bentar-bentar gue bantu miscall gantian ky. Gue baru selesai morning call sama Ratna nih."
"Gimana guys? Udah ada tanda-tanda Zoya bangun? Ky, nanti kalau udah dapat jawaban dari ustnya, langsung lu share ke grup ya."
"Lama-lama gue kirim nuklir juga nih ke rumah Zoya. Gila ya, gue juga miscall dari sejam lalu tetap adem ayem lho dia. Emang bukan cewek sih ni anak. Lu masih di luar rumah Zoya ky?"
"Aman guys aman, nyokap Zoya baru balik dari pasar. Gue otw ke kamar Zoya. Enjoy the weekend guys, and safe flight Noel!"
Begitulah pagi hariku dibuat ramai oleh notifikasi chat grup. Hampir ada lima puluh panggilan masuk dalam kurun waktu satu jam terakhir. Semalam aku memang meminta mereka untuk membangunkanku agar tidak telat menghadiri kuliah pra nikah yang akan dimulai pukul sembilan nanti. Hari ini kami punya misi untuk berangkat sedini munkin supaya Iky bisa duduk di shaf terdepan dari jamaah laki-laki. Dengan begitu, peluangnya untuk mendapat kesempatan bertanya pun bisa semakin besar.
Tapi aku teledor. Setelah semalaman bertukar pesan dengan Ayra--tentang Pak Athif--aku lupa melepas headset yang kukenakan. Aku tertidur dengan laptop yang terus berputar menayangkan berbagai video stand up comedy favoritku. Tanpa sadar aku tertidur dengan telinga yang disumpal headset bervolume maksimal. Jadi, upaya mereka untuk membangunkanku, upayaku menyalakan alarm perlima belas menit sekali, dan upayaku memaksimalkan volume ponsel pun semuanya menjadi sia-sia. Aku bahkan tidak merasa sesak dada walau semalaman tertidur dengan posisi telungkup. Entah karena sepulas itu, atau memang se-stress itu.
Sebelum aku terbangun karena serangan bantal dari Iky, laki-laki itu sudah lebih dulu mendapat izin bunda untuk masuk ke kamarku. Kami memang begitu sejak kuliah. Dan orang tua kami sudah amat sangat mengenal masing-masing karakter serta memaklumi segala kekurangan akhlak kami. Kecuali orang tua Iky. Sejak dulu hingga sekarang, dia tinggal di Jakarta sebagai perantau. Kami bahkan belum pernah melihat orang tuanya. Iky menetap di sebuah kos-kosan dengan oksigen yang bahkan tidak cukup untuk dihirup tujuh orang secara bersamaan. Sebab itu kami jarang berkumpul di kosan Iky. Tapi persahabatan kami sangat sehat dan produktif. Dan kurasa itulah yang membuat orang tua kami begitu mendukung persahabatan ini. Kami bahkan pernah beberapa kali berlibur ke luar kota dengan ayahnya Bombom sebagai sponsor tunggal. Itu keren sekali. Apalagi buat Iky si duta gratisan.
"Pantesan aja! Kalau gini konsepnya, diteleponin sampai tua juga gak bakal kedengeran Zoy! Mandi mandi sana. Astaga cewek!" protes Iky sambil mengirim hasil rekamannya ke grup WA. Ternyata sebelum membuatku terbangun dengan serangan bantalnya, Iky sudah lebih dulu membuat short vlog tentang posisi tidurku yang kebal dari dering ponsel.
"Iya iya sorry. Gue semalam chattingan sama Ayra sampai jam tiga tahu ky. Dan lu tahu gak....." jawabku yang masih setengah sadar. Aku bahkan masih mengucek mataku dengan mulut yang terus menguap.
"Oke stop, ceritanya nanti aja di jalan. Sekarang lu mandi, dan jangan lupa sikat gigi!" Iky lantas melemparkan handuk yang tergantung di balik pintu kamarku. Dia juga membuka lemari bajuku layaknya seorang ayah yang membantu anak SDnya bersiap untuk sekolah.
"Lu punya kerudung?"
"Mana ada..."
"Baju lebaran lu gak berkerudung?"
"Oh iya, ada..."