Diary Ta'aruf

Sastra Introvert
Chapter #12

Flash Mob

Sudah tiga hari berlalu sejak Iky mendapat jawaban pak ust atas tujuh pertanyaanku. Jawaban yang apabila terus kupikirkan, justru mencabangkan kian banyak pertanyaan lain. Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian tidak seorang pun dapat menjawabnya, kecuali diriku sendiri. Aku jadi ragu bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sudah kubutuhkan untuk saat ini. Aku ragu bahwa aku sudah siap untuk bertanggung jawab atas status baru yang akan kuemban. Terlebih untuk mendampingi seseorang sesempurna Pak Athif.

Tentang tujuh pertanyaanku, apa kalian penasaran? Akan kuberitahu, tapi jadikan ini rahasia antar wanita saja ya?! Lagipula aku tidak yakin bahwa laki-laki akan menganggapnya penting. Sebab pak ust bilang; mereka lebih dominan menggunakan akalnya daripada hati. Sedangkan pertanyaanku, mayoritas adalah tentang perasaan.

  1. Bagaimana caranya mengetahui bahwa kita sudah move on, di saat kita belum yakin telah melupakannya, tapi di waktu yang bersamaan Tuhan justru menyuguhkan seseorang yang lebih sempurna daripada masa lalu kita?
  2. Bolehkah memulai ta'aruf di atas keraguan atas perasaan kita sendiri?
  3. Apakah ta'aruf yang dilakukan oleh dua insan dengan tingkat pencapaian dunia yang berbeda jauh--dapat berjalan dengan lancar?
  4. Apakah boleh menerima ta'aruf ketika kita belum tuntas mengikuti kuliah pra-nikah?
  5. Bagaimana jika di tengah ta'aruf ada hal-hal yang ternyata tidak sesuai dengan harapan, lalu salah satu dari kita ingin menyudahinya, tapi salah satu yang lainnya terus bersikuku untuk berjuang?
  6. Berapa lama durasi ta'aruf yang disyariatkan dalam islam?
  7. Apa indikator yang dapat menunjukkan bahwa seseorang telah dalam kondisi siap untuk menikah?

Itulah ketujuh pertanyaanku yang akhirnya disampaikan kepada pak ust selepas kami sholat dzuhur. Sesi kuliah sudah berakhir saat itu. Jadi, aku tidak bisa mendengar langsung jawaban tersebut, karena Iky dan pak ust berdialog secara personal di area shaff laki-laki. Tapi Iky merekamnya. Tentu saja dengan seperizinan pak ust. Dan aku telah lebih dari sepuluh kali memutar-mutar rekaman itu untuk menanamkan jawabannya di alam bawah sadarku.

"Cinta adalah fitrah yang Allah ciptakan dalam hati manusia. Tapi mencintai dengan hati bukanlah solusi terbaik bagi kita yang bahkan belum mampu membedakan antara syahwat dan kebutuhan. Dari tiga pertanyaan awal yang barusan antum bacakan, setidaknya telah cukup untuk memberi gambaran tentang kebelum-mampuan hati dalam mengenali fitrah. Oleh sebab itu, jawabannya justru ada di pertanyaan ke-empat. Yaitu, bekali dulu akal kita dengan ilmu. Saya tidak melarang temen antum untuk menerima ta'aruf sebelum menyelesaikan kuliah pra-nikah. Hanya saja, saya menyarankan agar teman antum mencukupkan dulu dirinya dengan wawasan terhadap pernikahan. Dan kecukupan ini sifatnya tidak melulu diartikan bahwa dia harus menyelesaikan seluruh materi kuliah pra nikah ini--untuk kemudian menemukan keyakinannya. Sebab keyakinan itu adalah hak prerogatif Allah sebagai muqollibal qulub, atau yang Maha Membolak-balik Hati. Jadi, tugas teman antum sekarang adalah belajar, berdoa, dan bersabar sampai Allah datangkan hidayah ke dalam hatinya."

Sebenarnya, aku merasa tidak puas dengan jawaban pak ust. Terasa terlalu teoritis untuk aku yang sedang berpraktik dengan dilemaku. Kenapa tidak dijawab saja dengan kalimat semisal "ta'aruf harus dimulai dengan keyakinan, jadi kalau ragu sebaiknya jangan diteruskan", atau semisal "ta'aruf dengan seseorang yang terlalu sempurna untuk kita yang masih biasa saja itu tidak baik, karena hanya akan membuat kita semakin terlihat kerdil".

Aku juga sempat mengeluhkan jawaban-jawaban itu kepada keenam sahabatku. Dan Ucup setuju dengan ketidakpuasanku. Tapi Tomi bilang, jawaban pak ust cukup bijak untuk seseorang yang tidak tahu persis kondisi hati yang menuntut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Kalau pertanyaan tersebut datang dari hati pak ust sendiri, tentu saja jawabannya akan lebih praktis karena akal dan hatinya hidup di dalam satu raga yang sama. Sementara untuk kasusku, pak ust hanya punya wawasan--tanpa tahu persis bagaimana kondisi hatiku. Jadi wajar kalau jawabannya terkesan teoritis. Setidaknya itu baik untuk menghindari saran dan kesimpulan yang tidak sesuai dengan kapasitas hati si penanya.

"Woy, ngelamun aja lu! Itu anak magang udah dikasih tugas?" ini Dery, teman kantor satu divisiku. Sebenarnya dia atasanku karena dia ketua divisi. Tapi kesamaan usia membuat kami terbiasa untuk berinteraksi secara informal.

"Hah? Ah, oh.. aduh.. sorry sorry, anak magangnya udah dateng ya?"

"Lah lu belum ngecek ke meeting room dari tadi? Gue udah telepon lu dari satu jam yang lalu lho kalau mereka udah di drop HRD ke meeting room."

"Astagaaa, iya ya?! Oke oke gue ke sana." setelah berlari agak jauh, aku lantas berbalik ke arah Dery dengan sedikit rasa canggung. "Der, btw ya, lu kan udah nikah nih. Gue penasaran, waktu itu, apa yang buat lu yakin buat nikahin istri lu?"

Lihat selengkapnya