Muhammad Rafi Athif. Kenapa dia membuatku jadi sepenasaran ini? Ditambah dengan pernyataan Dery tadi siang, yang mengaku tidak asing dengan wajah Pak Athif di kantor kami. Rasanya terlalu berlebihan untuk meminta klarifikasi atas statement tersebut. Sayangnya, walaupun aku mengakui bahwa itu adalah sikap yang berlebihan; tapi faktanya aku sudah sampai di sini sekarang. Di coffee shop dekat rumah sakit tempat Ayra bekerja. Aku bahkan sudah meghabiskan dua gelas red velvet dengan satu cup tiramisu, sepiring roti bakar, dan semangkuk ramen. Kalian bisa mengira-ngira berapa lama aku sudah menunggu Ayra di sini. Tapi itu bukan salahnya. Siang tadi Ayra sudah mengatakan bahwa jadwal praktiknya malam ini padat. Dan aku yang bersikuku untuk menunggu kelonggaran waktunya malam ini juga. Jadi, sekali lagi ini adalah risiko dari kekeraskepalaanku.
Tentang agenda pertemuan kami malam ini, sejujurnya aku tidak tahu akan membahas apa. Apakah akan terlihat normal jika aku mengganggu waktu kerja seseorang hanya untuk bertanya; "apakah Pak Athif juga berkegiatan di sekitar kantorku? kenapa dia tidak mencantumkannya dalam CV?". Ayra bahkan menduga--dari balik telepon tadi--bahwa malam ini aku akan memberi jawaban tentang tawaran ta'aruf itu. Kurasa memang ada yang salah dari caraku mendesaknya untuk bertemu, jika bahasan yang kumaksud hanyalah dua pertanyaan semacam itu. Oh my goodness, aku jadi overthinking.
"Zoyaaaa..." akhirnya aku melihat Ayra. Dia memanggilku dari kejauhan tanpa suara. Hanya semburat bibirnya yang menyapa dengan diimbangi lambaian tangan. Perhatianku seketika beralih kepada wanita muda yang berjalan di sisi kanan Ayra. Samar-samar aku mencoba menerka. Seperti familiar. Tapi terasa asing. Aku terpaksa senyum karena gadis itu ikut melambaikan tangannya. Dia berjalan mendekat, dengan senyum yang seolah sedang berusaha membangkitkan kenangannya dalam memoriku.
"Kak Tharaaaa..."
"Lho, Shira?"
"Iya kak hehehe"
"Lho, kok bisa di sini? Kamu kenal Ayra?"
"Hahaha, dia adiknya Mas Athif Zoy. Pas aku cerita kalau malam ini kamu ngajak ketemu, dia ngotot mau ikut. Mau jadi tim sukses Mas Athif katanya haha."
"Hah? Hahahaha..."
Apa kalian tahu arti dari tertawa kosongku kali ini? Sekelebat mencerna dialog singkat kami barusan; aku jadi teringat pada masa-masa Shira ketika masih magang di kantorku. Dia selalu bilang bahwa ayahnya cukup protektif, sehingga kakaknya harus pintar-pintar membagi waktu untuk mengantar jemputnya magang. Sebab karena menurut ayahnya, kantor kami cukup jauh dari daerah rumah Shira.
Kalau seperti ini, berarti yang dimaksud dengan 'tidak asing' versi Dery tadi adalah--karena mungkin--dia memang pernah melihat Pak Athif ketika mengantar jemput Shira magang. Sekarang, jika secara garis besar jawaban atas rasa penasaran itu sudah kudapatkan. Lantas untuk apalagi aku di sini? Kami bahkan baru bertemu, tapi aku sudah kehabisan materi obrolan. Rasanya jadi mati kutu. Seharusnya sejak awal aku mengajak Iky, Ucup, Rasya, Bombom, atau Tomi. Kalau saja Noel sudah balik dari luar kota, dia pasti akan sangat antusias untuk menemaniku bertemu Ayra malam ini.
"Ya ampun Shira, jadi repot-repot gini kamu. Apa kabar? Udah lulus ya tahun ini?" aku mencoba se-friendly mungkin untuk menyembunyikan kelinglunganku.
"Udah kak, alhamdulillah. Baru aja dua bulan lalu. Sekarang masih bantu-bantu di bisnis interiornya om aku sambil nunggu hasil interview."
"Oh hahaha, hebat ya..." Hah? kok hebat? aduh, ada apa sih dengan otakku! Untung saja lemon tea pesanan terakhirku datang. Aku jadi bisa berpura-pura tidak fokus karena sibuk menyambut mbak-mbak waiternya. "Eh iya, kalian mau pesan apa? Biar sekalian pesan ke mbaknya."