Menyusun CV ta'aruf...
Aku masih terjaga hingga larut malam. Selarut pening di kepalaku tiap kali melihat kursor yang terus berkedip di depan mataku sejak dua jam lalu. Bagaimana harus kuisi semua space kosong di belakang tanda titik dua ini? Terlalu banyak hal tentang diriku sendiri yang rupanya belum kumengerti. Walau aku hanya mencoba mengikuti format point dari CV ta'aruf Pak Athif; ternyata tetap saja ini memakan waktu dari yang semestinya kuperkirakan. Aku masih berkutat di bagian 'Data Pribadi' dan terus memutar otak untuk menemukan jawaban dari tujuanku menikah, dan bagaimana afiliasiku terhadap dakwah.
Kira-kira, apa ya tujuanku menikah? Apakah ini masih tentang pelarianku dari semua kenangan tentang Remi? Atau karena aku mulai memiliki ketertarikan terhadap Pak Athif? Tapi apakah pernikahan bisa menjadi cukup, jika hanya dibangun di atas motivasi serapuh "perasaan". Rasanya bahkan terlalu bohong kalau kutulis bahwa aku ingin menikah untuk menjalankan ibadah.
"Nuuul, udah landing?" akhirnya, seperti biasa, aku memilih phone a friend sebagai pilihan bantuan.
"Udah, ini lagi on the way. Kenapa Zoy?"
"Mampir sini Nul, gue lagi butuh banget bantuan nih."
"Sumpah gue capek banget sih hari ini, dan lu pikir ini jam berapa? Udah mau tengah malam woy! Ngantuk gue. Besok ajalah. Besok gue cuti." Noel terus berbicara sambil menguap. Aku sampai bisa membayangkan seberat apa mata di balik ponsel ini. Kalau Noel memang tidak bisa, mungkin aku akan minta Iky atau Rasya saja untuk menginap di sini malam ini. Toh sejak zaman kuliah, kita juga sudah terbiasa beberapa kali tidur di ruang tengah. Lebih tepatnya 'ketiduran' di ruang tengah. Entah karena mengerjakan tugas. Atau karena terlalu capek sepulang dari job EO.
"Tapi besok deadline, gue udah janji bakal selesaiin malam ini sama Ayra."
"Ayra? Tunggu, tunggu, tunggu... ada deadline apa lu sama Ayra?"
Aku tahu kalau Noel bucin dengan Ayra. Dan reaksinya setiap kali mendengar nama Ayra disebut bahkan sudah kuhafal di luar kepala. Hanya saja, kali ini dia bersikap di luar ekspektasi. Padahal aku baru sempat cerita tentang penerimaanku terhadap tawaran ta'aruf dari Pak Athif. Aku bahkan belum sempat bercerita tentang betapa malunya aku--karena ternyata Pak Athif sudah memperhatikanku sejak lama di coffee shop itu. Tapi Noel justru sudah ingin tergesa-gesa mematikan teleponku. Noel yang biasanya selalu menahan diri dari membangun interaksi dengan Ayra. Noel yang biasanya cuma punya nyali untuk menjadi secret admirer-nya Ayra. Tiba-tiba saja langsung memutus telepon dariku setelah berkata; "bentar gue telepon Ayra!". Dasar Noel. Apa boleh dia mendadak punya ide 'agresif' seperti itu di tengah kegundahgulanaanku? Bisa-bisanya dia menjadikan 'penerimaan ta'arufku' sebagai alat dan modus untuk PDKT.
Setidaknya, itu yang kupikirkan sampai beberapa menit lalu. Sampai sebelum bunyi bel rumahku berdering hampir bersamaan dengan deru ban mobil yang memekik di halaman rumah. Sampai ketika kubuka pintu rumahku, dan mendapati lima laki-laki berkostum piyama yang tengah menerima instruksi dari Noel. Mau heran. Tapi itu mereka. Si para pemilik tabiat random yang sudah ditakdirkan untuk menjadi bagian dari hidupku. Bombom bahkan tidak lupa membawa bantal guling pribadinya. Bantal guling yang harganya tentu saja tidak murah. Tapi sangat empuk. Lembut. Dan tidak menyebabkan sakit leher. Itu honest review dari Bombom.
"Astaga, mau pada pesta piyama?" aku setengah tertawa menanggapi keherananku sendiri. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan perilaku mereka.
"Lu mau ta'arufan besok, tapi sampai pagi dini hari masih belum juga nagabrin apa-apa di WAG. Are you kidding Zoy?" Tomi mulai memimpin aksi demonstrasi dengan muka bantalnya.
"Gila ya lu Zoy, kalau Noel gak jemputin kita satu-satu kayak gini, lu bakal mutusin buat ta'aruf sama Pak Athif tanpa diskusi apa-apa lagi gitu sama kita?" Ucup menggoreng pertanyaan dari Tomi, dengan pertanyaan yang bisa digoreng lagi. Dia mengutarakan protesnya sambil menerobos masuk. Lalu berbaring di sofa. Dan kembali mengorok.