"Jangan pergi! Jangan tinggalin Arland!"
Entah untuk ke berapa kalinya, Arland selalu mendapatkan mimpi yang sama sejak usianya sepuluh tahun. Kadang mimpi itu hilang, tapi tidak jarang juga mimpi itu hadir di setiap kali matanya terpejam.
Arland mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia mengusap wajahnya frustasi lantaran ingin sekali menghapus mimpi itu dalam hidupnya. Masa lalu yang sulit sekali ia lupakan atau lepaskan.
Diliriknya jam kecil yang berdiri di atas nakas. Sudah jam enam pagi. Arland bergegas menuju kamar mandi. Tidak terlalu lama Arland berada di dalam sana. Setelahnya Arland bersiap untuk ke sekolah.
Cowok itu mengerucutkan bibirnya ke samping ketika melihat siapa yang sudah duduk di ruang makan dengan nuansa elegan itu.
"Pagi, Land," sapa pria separu baya itu. Meski sudah berumur, pria itu masih tampak memiliki karisma sebagai laki-laki dewasa yang cukup membuat wanita di luar sana terpesona.
Arland tidak menjawab sepatah katapun sapaan dari papinya itu. Ia lantas menarik kursi di ujung berseberangan dengan papinya, lalu duduk di sana.
"Land?"
"Hm," sahut Arland seadanya sambil menyambar dua roti tawar sekaligus.
"Hari ini papi harus berangkat ke Singapur untuk bertemu klien di sana. Kamu baik-baik di rumah sama Mbok Ijah. Nurut sama Mbok," ucap pria yang menyandang nama Tomi Nugraha itu.
"Ya, ya, ya. Seperti biasa," sahut cowok itu tengah mengolesi selai kacang di roti tawarnya.
"Ini semua juga kan untuk kamu, Arland. Kalau papi tidak bekerja keras, kamu tidak akan bisa menikmati kemewahan seperti sekarang ini," kata Pak Tomi mengedikkan bahu. Pria itu sepertinya sudah selesai sarapan. Ia hanya sedang terlihat menikmati secangkir kopi susu, seperti biasa.
Raut wajah Arland berubah. Memang sudah datar sebelumnya, tapi karena baru saja ia mendengar perkataan papinya, wajahnya semakin datar nyaris tidak seperti sebuah ekspresi apapun.
"Arland berangkat dulu. Udah kesiangan," ucapnya langsung beranjak dari kursi. Padahal baru beberapa kali ia menggigit roti tawarnya itu. Sepertinya Arland memang sengaja menghindari pembicaraan dengan papinya terlalu lama.
Meski begitu, sebelum meninggalkan ruang makan, Arland menyalami terlebih dahulu tangan papinya.
Sementara Tomi masih setia di posisinya. Menatap punggung Arland yang menjauh dengan tatapan cemas.
"Dasar anak itu. Masih saja tingkahnya tidak berubah," gumam Tomi seorang diri.
•••••
Hari pertama setelah liburan panjang berlalu, daerah kawasan SMA Abadi sudah cukup ramai dengan para siswi berseragam kemeja putih dibalut kardigan berbahan rajut berwarna hijau tosca, juga dasi yang terselip di dalamnya. Ditambah rok bermotif kotak-kotak dengan warna senada. Berbeda dengan seragam yang dikenakan para siswa itu, kemeja putih dan jas hijau tosca. Namun, tidak banyak dari mereka yang mau direpotkan dengan jas tersebut melekat di tubuh karena bahan yang cukup tebal.
Termasuk cowok yang kini keluar dari mobil sporty hitam yang sudah terpakir di salah satu sudut sekolah. Cowok yang selalu saja menjadi pusat perhatian para siswi di sekolah ini. Bagaimana tidak, setiap waktu tertentu, cowok ini mengganti mobil yang ia kendarai ke sekolah. Sama dengan sekarang. Mobil yang terparkir saat ini berbeda dari sebelumnya.
"Weh, kelas baru mobil baru juga nih," seru Gary baru menghampiri Arland, bersama Cakra mengekori dari belakang.
"Iya dong. Harus itu," sahut Arland dengan congkak.
"Harus ada sesuatu yang spesial juga dong buat ngerayain mobil baru lo ini," kata Cakra menepuk bahu Arland.
"Terserah kalian mau apa, tinggal bilang. Gue yang traktir," ucap Arland dengan mantap.