Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #3

Harian Ke-2 / Pangeran Sekolah

Tampan, kaya, cerdas. Rasanya kurang lengkap kalau Arland tidak pandai dalam berolahraga. Dan sayangnya cowok berambut sedikit kecokelatan itu memang menjadi bintang basket di sekolahnya. Arland bukan seorang kapten basket, karena menurutnya posisi itu terlalu membebani dirinya. Arland lebih menikmati hanya sekadar menjadi anggota basket saja.

Acap kali Arland berlarian di lapangan sambil men-dribble bola oranye itu, sudah dipastikan kalau sorak-sorai dari para siswi di SMA Abadi sangat menggema di gedung ini. Seperti sekarang. Kelas XIIPA1 tengah berada dalam pelajaran olahraga yang mana kebetulan juga kelas ini memang pandai dalam segala hal. Kelas utama yang menampung setiap murid berbakat. Termasuk Arland.

"Arland!" teriak para siswi di beberapa lantai kala menonton permainan basket di lapangan.

"Sumpah keren banget! Rambutnya itu lho, yang bekibas-kibas kalo lagi masukkin bola ke ring," ucap salah seorang siswi di pinggir lapangan yang tengah menyaksikan permainan basket Arland. Bukan siswi sekelasnya Arland, tapi siswi dari kelas lain.

Arland kelewat bahagia bisa ditempatkan di kelas IPA1, karena di kelas itu hanya ada orang-orang dengan otak cerdas atau siswa-siswi berbakat dalam berbagai bidang. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sosok para penghuni kelas itu. Berbeda dari kelas lainnya yang banyak dihuni oleh gadis-gadis jelalatan dengan otak sewajarnya atau seadanya.

Maka dari itu, di kelas IPA1 ini Arland bisa lebih tenang karena tidak ada siswi yang bergosip ria tentang dirinya atau siswi yang sok-sok cari perhatian di depannya. Kecuali satu orang.

Bola bergulir masuk dengan mulus. Melewati lingkaran tanpa menyentuh besi dan memantul tinggi ke tanah lapangan. Pemandangan itu membuat suara sorak para siswi semakin menggelegar membelah angkasa.

Termasuk Naya yang sedaritadi tidak pernah memalingkan pandangannya dari cowok yang menjadi pusat perhatian itu. Naya memang berbeda dari siswi yang bergenit ria dengan Arland. Naya hanya bisa mengagumi Arland dengan caranya yang polos dan tidak diumbar-umbar pada siapapun selain sahabatnya, Riani.

"Nay, gue beli minuman ke kantin dulu, ya," ucap Riani bangkit dari duduknya.

"Iya, Ri. Aku tunggu di sini, ya," sahut Naya dengan wajah mendongak ke wajah Riani yang ada di atasnya.

Riani beringsut pergi dari posisinya. Lalu mata Naya kembali terpaku pada tim basket yang masih dalam permainan.

Beberapa detik setelahnya, suara peluit dari guru olahraga berbunyi nyaring. Praktis membuat para pemain basket itu berangsur pergi dari lapangan.

Mata siswi di atas sana masih belum juga berpaling dari Arland yang sekarang sedang duduk di tempat teduh tepi lapangan. Keringat yang mengucur dari pelipis Arland membuat para siswi itu ingin sekali membersihkannya.

"Heboh banget setiap lo main basket, Land," kata Gary sambil membuka botol air mineral di tangannya.

Kepala Arland mengadah ke atas, mencoba ingin tahu seberapa banyak siswi yang sejak tadi bersorak heboh untuknya. Dan benar kalau setiap pagar di atas sana terpenuhi oleh siswi-siswi jelalatan.

Arland mendengus geli seraya dengan menekan keringat di keningnya menggunakan handuk yang ia ambil dari dalam tasnya.

"Perasaan gue juga nggak kalah keren dari lo, Land. Tapi kok gue nggak pernah dapet teriakan histeris kayak lo gitu ya?" ujar Cakra sangat berharap bisa seperti temannya itu.

"Itu kan cuma perasaan lo aja nggak kalah keren dari Arland. Kenyatannya?" Bahu Gary tergidik. "Lo nggak ada secuilnya ujung rambut Arland," lanjut Gary dengan nada mencemooh.

Arland terkekeh hambar. Sementara Cakra hanya menoyor pelan kening Gary.

Gary, Cakra, terutama Arland, berjengit kaget ketika ada siswi yang sudah berada di depan Arland sambil menyodorkan sesuatu di tangannya.

"Nih, buat kamu," ucap Naya dengan botol air mineral di tangannya, disodorkan ke Arland.

"Lo lagi?" tanya Gary dengan kening berkerut. Cakra hanya diam dengan mulut yang sedikit terbuka. Dan Arland hanya menatap botol air mineral itu dengan salah satu alis yang terangkat.

"Buat gue?" tanya Arland ke Naya hendak memastikan.

Naya mengangguk yakin seraya dengan wajahnya yang semringah.

Lantas Arland mengambil botol itu dari tangan Naya. "Makasih ya," ucapnya lalu membuka tutup botol dan meneguknya. Pandangan Naya masih tidak lepas dari Arland.

"Gue ke kantin dulu ya. Lo ikut nggak?" tanya Gary ke Arland.

Lihat selengkapnya