"Sorry, gue udah bosen sama lo. Gue nggak bisa ngelanjutin hubungan ini lagi. Lo cari cowok lain aja, ya," ucap cowok dengan hoodie biru gelap itu.
"Tapi kita baru aja pacaran seminggu. Masa lo putusin gue gitu aja? Perasaan seminggu ini juga kita baik-baik aja kan?" Cewek yang sudah diputuskan itu tampaknya tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Bukannya gue udah bilang dari awal. Gue mau pacaran sama lo dan setelah gue bosen, gue nggak mau lagi ngelanjutin hubungan ini. Lo sendiri yang setuju soal itu kan?" tegas Arland tapi tidak tampak kemarahan di wajahnya. Bahkan, Arland terlalu santai di keadaan sekarang ini.
"Emangnya gue ngebosenin? Bukannya gue selalu nurutin apapun kemauan lo," ujar cewek bernama Trisa itu. Entah dia itu cewek ke berapa untuk Arland dalam setahun ini. Trisa adalah kakak kelas Arland di SMA Abadi.
"Iya, lo ngebosenin."
Seketika napas Trisa seperti terhimpit oleh batu besar. Sangat lantang Arland berkata seperti itu padanya.
"Lo jahat!" pekik Trisa lalu melenggang pergi dari posisinya. Mata cewek itu sudah berkaca-kaca.
Arland mengempaskan bokongnya di sofa panjang salah satu sudut cafe ini, seraya dengan helaan napasnya yang cukup panjang. Sejak dia duduk di bangku SMP, Arland sudah sering bergonta-ganti pasangan seperti itu.
Hubungan paling lama yang pernah Arland jalani hanya 3 minggu, tidak lebih. Bahkan, sering Arland menjalani hubungan dengam seorang cewek hanya dua hari.
"Lo apain lagi anak orang?" tanya Gary yang baru datang bersama Cakra. Kebetulan dua cowok itu berpapasan dengan Trisa di pintu cafe, ketika cewek itu mulai berderai airmata.
"Nggak gue apa-apain. Gue cuma bilang putus, udah biasa kan?" Bahu Arland tergidik.
"Ya, emang biasa kalo lo. Nah, kalo tuh cewek, ya jelas dia sakit hati lah, lo putusin gitu aja," sungut Cakra mengambil posisi duduk di sebelah Arland. Sedangkan Gary di sofa satunya.
"Bosen gue. Semua cewek sama aja rasanya," cibir Arland.
"Lo kira tuh para cewek makanan, pake dirasain segala," celetuk Gary lantas mengambil buku menu di meja.
"Ah, bawel lo pada. Udah pesen cepetan," kata Arland setengah jengkel.
Beberapa detik sibuk dengan buku menu, Cakra mengacungkan tangannya guna memanggil salah satu pelayan Cafe. Ia menyebutkan beberapa pesanannya, termasuk pesanan Gary dan Arland sendiri.
"Emang lo nggak ada niatan buat pacaran serius, Land?" tanya Gary sambil menutup buku menu. Cakra masih berurusan dengan pelayan Cafe yang mulai mencatat pesanan.
Sepasang alis Arland terangkat, diikuti sudut bibirnya yang tertarik ke bawah. "Nggak ada," jawabnya.
"Yakin lo?" tanya Gary hendak meyakinkan jawaban Arland.
Cakra selesai dengan urusannya dengan pelayan Cafe. Lantas ia mulai memasang telinganya dalam obrolan kedua temannya itu.
"Insaf, Land. Kena karma baru tau rasa lo," cibir Cakra.
"Iya, Land. Emangnya lo mau jadi perjaka sampe tua?" sambung Gary.
Arland menjauh dari sandaran sofa. Ia meletakkan kedua sikunya di atas paha. Lalu Arland menatap Cakra dan Gary bergantian.
"Lo berdua nggak tau apa-apa soal cewek. Dari sekian banyak gue pacarin cewek-cewek itu, nggak ada satupun dari mereka yang beda. Semuanya sama. Nggak punya hati," ucap Arland. Pelan, penuh penekanan, dan sangat yakin dengan presepsinya itu.
Cakra dan Gary hanya bisa mendelikkan mata sambil saling membagi pandang.
•••••
Kriiiingggg....
Bel tanda masuk berdering nyaring, bertepatan dengan mobil Arland yang baru saja terparkir di salah satu sudut sekolah, menandakan kalau cowok itu belum terlambat.
Sebagai murid cerdas juga anak dari pendonatur terbesar di sekolah ini, Arland tidak ingin mencoreng nama baik papinya dengan reputasi jelek sebagai siswa. Ya, sekalipun Arland bisa terbilang badboy ketika di luar sekolah atau sering membuat masalah pada siswi-siswi di sini.
Setelah menekan tombol kunci mobilnya, Arland bergegas sambil setengah berlari menuju ke kelasnya.
Bruuuuk....
Ya, sepertinya tidak lengkap kalau di cerita remaja ada adegan tabrak-menabrak.
Buku-buku yang baru saja Naya bawa dari perpustakaan, lolos dari tangannya terjatuh ke lantai.