Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #11

Harian Ke-10 / Jaket Kulit

Bisakah aku menjadi salah satu yang berharga dalam hidupmu?

-Ainaya Valyria-

•••••

Sebut saja sebuah kobaran api sedang mengisi seluruh organ tubuh Arland sehingga cowok itu merasakan hawa panas yang tak terhingga. Jika mungkin pun akan ada kepulan asap yang keluar dari setiap bagian tubuhnya. Arland terlalu emosi saat ini. Ia selalu seperti ini kala papinya sering pergi ke luar negeri atau luar kota dalam waktu yang lama.

Tidak peduli seberapa kuat Arland mencoba untuk tidak menghiraukan kepergian papinya perihal pekerjaan, perasaan Arland tetap tidak suka kalau ia ditinggal oleh papinya. Karena hanya papinya yang ia punya. Maminya sudah pergi. Apa harus papinya juga selalu pergi? 

Biasanya jika sedang kalut begini, Arland selalu melampiaskannya di sebuah klub atau cafe dengan nuansa klasik agar emosinya meredam. Atau setidaknya ia bisa meluapkan emosinya di dua tempat itu. Entah dengan mengencani gadis-gadis di sana atau sekadar minum soda yang banyak. Percayalah, senakal-nakalnya cowok itu, Arland belum pernah menyentuh alkohol. Arland hanya perlu tempatnya saja tanpa harus mencicipi minuman yang tidak baik untuk kesehatan itu.

Dan sekarang, Arland sendiri heran mengapa ia memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah Naya. Semua mengalir begitu saja tanpa ada niatan datang ke sini. Lebih gilanya lagi, saat ini Arland ingin sekali melihat wajah polos gadis itu. 

Namanya kebetulan atau bukan, bersamaan dengan keluarnya Arland dari mobil, Naya membuka pintu rumahnya. Di tangan gadis itu terdapat keranjang kecil yang sepertinya Naya akan membuang sampah di tempat pembuangan depan rumahnya. 

Sudah berdiri di depan pintu, Naya membelalak sempurna. Ia bahkan mencubit pipinya sendiri sampai mengaduh pelan karena saking tidak percayanya cowok itu ada di sini, di depan rumahnya. Belum lagi jarum jam sudah hampir berada di angka sembilan. Untuk apa Arland malam-malam ke sini?

Perlahan Naya melangkahkan kakinya. Selain tujuan gadis itu memang ke depan rumah, ia juga ingin menyapa Arland yang kini tengah menyandarkan bokongnya di sisi kap mobil sambil melambaikan tangan ke arahnya. Naya tersenyum kikuk.

"Hai, Nay," sapa cowok itu. Naya sudah berdiri di depan Arland.

"Ha-hai," sahut Naya gerogi.

"Mau buang sampah?" Arland melirik ke keranjang yang masih setia dipegang Naya. 

Gadis itu mengangguk kikuk. Lantas Arland menyambar keranjang di tangan Naya, lalu menuju ke arah pembuangan di sudut depan rumah Naya, dan menuangkan isi keranjang itu di sana. 

Setelahnya Arland menghampiri posisi Naya yang masih masih bergeming. Cowok itu menepuk-nepuk telapak tangannya guna menghilangkan debu atau kotoran yang sekiranya menempel setelah ia membuang sampah baru saja.

"Nih." Arland menyodorkan keranjang sampah itu ke Naya. Dengan masih menatap kaku ke Arland, Naya mengambil sodoran keranjang itu.

"Gue boleh main ke sini kan?"

Naya diam. Atau lebih tepatnya ia belum sadar dari matanya yang sama sekali belum mengerjap menatap Arland.

"Nay?" panggil Arland dan berhasil menyentak pandangan Naya. Akhirnya gadis itu tersadar.

"Eh, iya. Ada apa?"

"Gue boleh kan main ke sini? Ke rumah lo?" ulang Arland lagi dengan penekanan di setiap katanya.

"Bo-boleh," jawab Naya sambil mengangguk.

Cowok itu tersenyum tipis. Belum disuruh, Arland sudah berjalan lebih dalam ke rumah Naya dan berhenti di depan teras. Meninggalkan Naya masih di depan gerbang sana.

Sebelum duduk di bangku teras, Arland melepas jaket kulitnya dan menyampirkan di sandaran bangku. Tanpa dosa ia melambaikan tangannya memanggil Naya untuk datang menghampirinya. 

Naya mulai berjalan memenuhi interupsi Arland.

"Kamu mau minum apa?" tanyanya masih sedikit gugup. Naya masih tidak menyangka dengan kedatangan cowok itu. Seperti mimpi rasanya. Karena beberapa menit yang lalu, baru saja Naya selesai menulis nama cowok itu dalam diary hariannya.

"Teh anget boleh."

"Sebentar ya," ucap Naya lalu bergegas ke dalam rumahnya.

Aneh, tepat ketika gadis itu keluar rumah tadi, dalam sekejap amarah Arland yang begitu membuncah hilang diterpa angin malam. Seolah tidak ada yang terjadi pada cowok itu. Semua terasa normal seperti halnya seseorang yang ingin berkunjung saja ke rumah temannya.

Selang beberapa saat kemudian, Naya kembali membawa nampan dengan secangkir teh hangat di atasnya. Pelan-pelan ia meletakkan cangkir itu di meja samping Arland. Masih ada rasa gugup yang terlihat di wajah Naya saat ini.

"Ada apa?" tanya Naya membuka obrolan. Ia mengambil posisi duduk di bangku satunya sebelah meja.

"Gapapa. Mau main aja. Cuma maaf kalo kedatangan gue ini terlalu malam. Tapi lo belum tidur kan?"

"Belum," sahut Naya menggeleng dengan kedua tangan yang terpangku di atas paha. Naya sedang mencoba menghilangkan rasa gugupnya sedikit demi sedikit.

Kebisuan sesaat menyambut mereka berdua. Arland sendiri juga bingung harus membuka obrolan seperti apa.

Lihat selengkapnya