Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #12

Harian Ke-11 / Kue Cokelat

Apakah berlebihan jika hanya menyukai satu orang dalam waktu yang lama? Bukannya itu setia? Tapi kenapa ada yang bilang itu hal bodoh?

-Ainaya Valyria-

•••••

Hai, Diary ....

Kata demi kata terangkai membentuk sebuah kalimat, yang kemudian beranjak menjadi narasi penuh dalam beberapa lembaran. Bukan menulis puisi atau yang biasa disebut sajak. Tapi ini adalah kegiatan rutin yang selalu dilakukan Naya menjelang waktu tidurnya.

Menulis sebuah buku yang sudah menjadi temannya sejak beberapa tahun lalu. Buku yang menjadi teman cerita selain kepada Tuhan dan sahabatnya, Riani. Di dalam buku ini, Naya bisa bebas menceritakan setiap hal kecil yang ia alami setiap harinya. Serupa ketika Naya juga sedang mengadu pada Tuhan-nya.

Karena bagi Naya, buku catatan ini akan menjadi peninggalannya ketika dunia tidak lagi menjadi tempat Naya bernaung. Sebuah buku diary berukuran sedang yang sudah tidak mulus lagi. Lembarannya sudah sedikit kusam dan lecek.

Di mana hampir setiap kalimat selalu nama 'Arland' yang ditulis.

Termasuk malam ini, yang mana perasaan Naya sedang bersedih. Mengingat kembali kejadian tadi pagi di kantin membuat Naya tidak kuat menahan genangan yang menggumpal di pelupuk matanya.

Segitu mudahnya Arland berkata bahwa ia tidak mengenal Naya. Tatapan dingin itu bahkan masih jelas terpampang di layar mata Naya. Kalau Arland sudah tidak ingin mengenalnya, lalu Naya harus bagaimana? Arland adalah cowok pertama setelah ayahnya yang mampu menguatkan Naya hingga sekarang. Senyum cowok itu yang dulu selalu jelas ada dalam ingatan Naya. 

Tok tok tok.

Naya menutup buku diary-nya ketika ketukan pintu kamar itu terdengar. Tidak lupa juga Naya segera menyibak genangan di pelupuk matanya.

Anita melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak begitu besar tapi terlihat rapi itu. Anita menghampiri sang anak yang tengah duduk di bangku belajarnya. Mengelus lembut belakang rambut Naya yang terurai.

"Bagaimana sekolah kamu, Sayang?" tanya sang ibu.

"Baik, Bu. Naya akan ikut olimpiade dua bulan ke depan. Dan ibu tau nggak siapa yang jadi partner Naya nanti?"

Anita menggeleng sambil terus senyum. Mengelus sekali lagi rambut hitam sebahu itu. "Siapa?"

"Arland, Bu."

"Oh, ya?" Anita menaikkan kedua alisnya membelalak. Naya mengangguk semangat.

Lalu sang ibu mengambil salah satu tangan Naya dan ia bawa untuk bertumpuk di telapak tangannya yang sudah tidak muda lagi itu. Anita menggenggam telapak tangan Naya dengan kuat. Menatap wajah anaknya dengan sendu.

"Ibu kenapa?" tanya Naya merasa sang ibu tidak baik-baik saja.

Anita menggeleng seraya dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Anak ibu sudah besar. Cantik, pintar, dan baik. Ibu sayang sama Naya," ucapnya langsung menyibak cepat satu bulir yang perlahan turun dari ujung matanya.

Segera Naya bangkit dan memeluk sang ibu. "Naya juga sayang banget sama ibu. Makasih udah membesarkan Naya sampai detik ini," ucap Naya yang tidak lagi bisa membuat Anita menahan airmatanya.

Setiap hari, bukan tapi setiap detik, Anita tidak pernah kuat untuk menatap wajah Naya terlalu lama. Wajah yang bisa hilang entah dalam waktu sebentar lagi atau waktu yang lama. Tergantung Tuhan akan memberikan kesempatan itu.

Cukup lama saling memeluk, Anita lebih dulu melonggarkan pelukan itu dan menangkap kedua sisi wajah Naya.

"Anak ibu baik-baik aja kan?" tanyanya berderai airmata. Naya mengangguk yakin sembari tersenyum. Sedikitpun tidak ada airmata yang mengalir dari gadis itu. Naya harus kuat di depan ibunya.

"Tidurnya jangan malam-malam, ya," ujar Anita lalu mengecup kening Naya beberapa detik. Naya mengangguki lagi. Hanya itu yang bisa Naya lakukan.

Setelah cukup melihat putri sulungnya malam ini, Anita beranjak keluar kamar. Barulah Naya bisa mengeluarkan tetes demi tetes airmatanya.

Dada Naya mulai terasa sakit ketika tangisnya semakin sesak. Tidak bersuara memang, tapi tetap ia menjerit dalam hatinya. Naya memegangi dadanya dengan kedua tangan. Perlahan ia menarik napas dalam dan mengembuskannya.

Tidak terasa apapun, ada cairan merah yang menetes ke punggung tangannya. Segera Naya mengambil tisu di dalam tasnya, menghapus bekas cairan merah itu.

Semakin sakit, perih, sesak.

Naya mencari obat di dalam laci meja belajarnya. Meneguk beberapa obat sekaligus dan didorong dengan air mineral dari botol air minumnya.

Pelan-pelan Naya menghampiri ranjang kecilnya. Menarik selimut tipis itu hingga menutupi sebagian wajahnya. Naya harus cepat tertidur agar rasa sakit tidak lagi menyerangnya.

•••••

Seseorang menyodorkan sebuah kotak bekal berukuran kecil ke hadapan Naya. Sesaat Naya menilik kotak bekal itu dan mengangkat pandangannya ke depan. Ke seseorang yang memberikan kotak bekal tersebut.

Mata Naya mendelik tidak percaya kalau Arland yang kini berada di hadapannya. Naya yakin kalau tadi pagi ia sudah bangun dan berangkat ke sekolah. Jadi rasanya ini bukan mimpi. Arland berdiri di antara dua bangku di depan meja Naya.

"Maaf," ucap cowok itu dengan wajah yang penuh penyesalan.

"Arland," sebut Naya pelan.

"Maaf soal kemarin. Gue terpaksa pura-pura nggak kenal sama lo di depan Lala," lanjut cowok itu mengutarakan maksudnya dengan memberikan kotak bekal yang entah apa isinya.

Pelan-pelan bibir mungil itu tertarik hingga membentuk senyuman. "Iya, gapapa. Aku ngerti."

Salah satu alis Arland tertarik. Apa iya Naya sudah tahu tentang maksudnya melakukan hal mengesalkan seperti kemarin?

"Lo tau kenapa gue ngelakuin hal itu?" tanyanya sambil menarik salah satu bangku dan duduk menghadap ke Naya.

Naya menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Alasannya karena ...," ucap Arland terpotong.

"Kamu nggak perlu kasih alasannya. Aku udah maafin kamu kok. Apapun alasannya yang penting sekarang kamu udah mau ngobrol lagi sama aku. Kamu nggak bener-bener nggak mau kenal sama aku aja itu udah lebih dari cukup," pungkas Naya panjang lebar. Tentu saja dengan raut wajah yang semringah.

Arland mengadahkan tangannya. "Terus jaketnya mana?"

"Aku nggak bawa. Jaketnya ada di rumah. Besok aku bawa ya," kata Naya mulai merasa tidak enak karena tidak bisa langsung memberikan jaket itu ketika Arland meminta darinya.

"Yaudah nggak usah di bawa besok. Biar nanti malem gue yang ambil," balas Arland.

"Ini apa?" Naya menyentuh kotak bekal yang sedari tadi diangguri saja.

Arland bangkit. "Buka aja. Terus diabisin. Gue mau ke kantin dulu," ucapnya dan berlalu. Naya mengangguk dengan wajah yang amat gembira.

Satu langkah lagi Arland keluar dari pintu. Ia berhenti, berbalik badan ke arah Naya.

Lihat selengkapnya