Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #13

Harian Ke-12 / Ponsel

Mudah bagiku jika harus melihatmu dari kejauhan. Tapi sangat sulit ketika aku tidak bisa menemukanmu dalam pandanganku.

•••••

Bertepatan bunyinya bel istirahat berdering nyaring, Riani langsung melesat keluar kelas. Sudah lebih dari sepuluh menit ia menahan 'keinginannya' untuk segera dituntaskan. Menanggapinya, Naya hanya tersenyum simpul.

Hari ini Arland tidak masuk sekolah. Tidak biasanya karena jarang sekali cowok yang mempunyai sejuta pesona itu bolos atau izin sekolah. Meski sering menyakiti hati para gadis, Arland adalah cowok yang selalu mengutamakan prestasi di sekolah atau semacam menjaga nama baiknya di sekolah. Karena hal itu bisa membuat papinya bangga sekalipun sang papi tidak pernah menyinggung Arland soal prestasinya di sekolah.

Tanpa menunggu Riani selesai dengan urusannya, Naya bergegas menuju perpustakaan. Ia hendak menyelesaikan tugas-tugas dari Pak Robert perihal contoh soal untuk olimpiade matematika kurang dari dua bulan lagi.

Sampai di perpustakaan, Naya mencari tempat di ujung sudut perpustakaan yang dekat dengan jendela sisi luar. Naya mencari tempat yang sepi agar otaknya bisa terfokus ke soal-soal itu. Atau lebih tepatnya agar perasaannya bisa tenang setelah semalaman suntuk ia terus dirundung kegelisahan hebat.

Alasannya sudah pasti. Bukan tebakan lagi karena kejadian sore itulah yang membuat Naya tak lepas dari rasa kalut. Kemarahan seorang Arland yang terus menganggu tidurnya tadi malam.

Satu soal Naya memulai. Baru ia menulis beberapa angka di catatan kecilnya itu, pikirannya buyar. Sesaat Naya berhenti, lalu mencoba melanjutkan pekerjannya lagi, dan terulang kembali. Naya kehilangan fokusnya yang diterjang ombak besar dalam kepalanya.

Kedua tangannya menutupi seluruh wajah mungil itu. Naya frustasi tidak bisa menyingkirkan masalah pribadinya untuk mengerjakan soal-soal yang menjadi penyambung hidupnya di sekolah ini. Karena kalau Naya terus begini, beasiswanya akan terancam.

Ya Tuhan.

Naya semakin menekan wajahnya dengan kedua tangan yang masih setia hinggap di sana. Rasanya ia ingin menangis saja dengan situasi ini. Mungkinkah alasan Arland tidak masuk sekolah hari ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin?

Naya terus bergulat dengan pikirannya.

"Udah gue duga pasti lo di sini," ucap Riani yang sudah duduk di depan Naya. Otomatis membuat Naya menjauhkan tangannya dari wajah dan menatap Riani datar.

"Kantin, yuk," ajak Riani.

"Aku nggak pengen makan apa-apa, Ri. Kamu aja yang ke kantin," balas Naya sangat tidak bersemangat.

Riani menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. Melipat kedua tangan di atas dadanya dan menatap Naya dengan bibir yang mengerucut ke samping.

"Lo kenapa sih, Nay? Bentar seneng bentar sedih. Gara-gara Arland lagi? Kenapa emangnya? Dia udah ngapain lo lagi? Pura-pura nggak ngenalin lo kayak kemaren itu?" tanyanya beruntun lantas menegakkan kembali duduknya dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Untung saja mereka berada cukup jauh dari orang-orang yang sedang membaca. Termasuk penjaga perpustakaan yang akan marah jika mendengar obrolan mereka yang bisa mengganggu para siswa di sini.

"Arland marah sama aku, Ri. Kemarin ...," ucap Naya menggantung. Ia tidak tahu harus cerita semuanya ke Riani atau tidak.

"Marah kenapa?" Satu alis Riani tertarik.

"Dia nggak suka kalo aku khawatir sama dia."

"Yaudah, lo tinggal nggak usah khawatir lagi aja sama dia. Gampang kan? Lagian apa sih yang perlu lo khawatirin dari cowok kayak dia?" Riani berusaha agar suaranya tidak meninggi karena pembahasan yang selalu ia tidak inginkan. Selalu Arland.

"Tapi, Ri," sela Naya. Lantas Riani bangkit, menarik tangan Naya agar gadis itu juga bangkit.

"Ke kantin dulu baru lanjutin ngomongin soal dia. Lo harus makan biar nggak sakit," ujar Riani lalu menarik tangan Naya setelah Naya merapikan buku-bukunya dengan cepat.

Bertepatan Naya dan Riani sampai di kantin, pandangan Naya langsung tertuju ke posisi di mana ada Gary dan Cakra. Tanpa mempedulikan Riani yang berusaha menahan lengannya, Naya tetap berjalan menuju kedua cowok itu.

"Permisi," ucap Naya sudah berdiri di samping meja. Praktis membuat Cakra dan Gary mengenyit lalu saling membagi pandang.

"Kenapa, Nay? Nanyain Arland?" tanya Cakra yang langsung tahu tujuan gadis itu menghampiri.

Naya mengangguk.

"Duduk dulu sini," kata Gary menepuk-nepuk bangku yang juga ia duduki.

Naya menurut saja tawaran Gary itu. Melihat dari kejauhan, Riani dengan langkah pastinya menghampiri posisi Naya.

"Hai, Riani. Sini duduk sama kita," sapa Gary dengan gaya yang genit. Riani hanya menyunggingkan bibirnya malas. Namun, Riani tetap duduk di antara mereka, di sebelah Naya.

"Tadi pagi Arland nelpon gue. Katanya dia lagi nggak enak badan," kata Cakra menjawab pertanyaan Naya tadi.

Raut wajah Naya cemas. Benar dugaannya kalau alasan Arland tidak bersekolah hari ini karena kejadian kemarin.

"Arland sakit apa?" tanya gadis itu yang sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Tentu saja Cakra, Gary, bahkan Riani jelas melihat hal itu.

"Gue juga nggak tau pasti. Arland nggak bilang selain nggak enak badan," tambah Cakra.

Naya terdiam. Pikirannya melayang ke cowok itu.

"Lo suka sama Arland?" Pertanyaan Cakra membuat mata Riani melotot tajam.

"Justru aneh kalo lo nggak suka sama Arland, Nay. Mana ada sih cewek di sekolah ini yang nggak suka sama dia," sela Gary.

"Cuma cewek pinter yang nggak suka sama Arland. Termasuk gue dan Naya," cetus Riani dengan sinis. Gary dan Cakra mendengus geli.

Seharusnya wajah Naya memerah ketika mendapat pertanyaan dari Cakra. Namun, pikirannya tidak bisa mempedulikan segelintir hal yang tidak terlalu penting itu.

"Boleh minta nomor ponsel Arland?"

"Wedeeh, perhatian banget dah," ejek Gary dengan heboh. Cakra juga senyam-senyum meledek gadis itu.

"Aku serius." Suasana yang tadinya heboh itu menyurut hening karena wajah Naya yang benar-benar terlihat dingin. Sepertinya Naya sudah berada di ambang kecemasan yang hebat. Sementara Riani hanya membuang wajahnya ke sisi lain, tidak begitu tertarik dengan pembahasan ini. Riani hanya ingin sekadar menemani Naya di antara dua cowok ajudan Arland itu.

"Bentar, bentar. Gue telpon Arland-nya dulu. Dia nggak suka kalo nomor hape-nya disebar-sebar," kata Cakra masih di sisa-sisa kegeliannya. Lantas ia merogoh ponsel di saku celana abu-abunya dan menghubungi sang tersangka.

Tidak lama panggilan Cakra terhubung dengan Arland.

"Woi, Land. Ada yang minta nomor lo nih."

"Siapa?" Terdengar serak suara cowok itu.

"Coba tebak." Cakra melirik ke Naya yang masih memperhatikannya. Sama halnya dengan Gary yang masih saja kegelian dengan situasi ini.

"Gue lagi males main tebak-tebakan," sahut Arland dengan nada yang malas.

"Naya minta nomor lo. Kasih nggak nih?"

Lihat selengkapnya